Post Power Syndrome





Oleh Muhammad Natsir Tahar

Apa yang diimpikan pria – pria tentang harta, wanita dan tahta akan berakhir fana. Harta dan wanita mungkin akan bertahan lebih lama, tapi tahta bergulir secepat musim. Tahta berkelindan dengan kehendak demokrasi dan mesin – mesin produksi: economic animal khas Adam Smith bertahan sepanjang fungsi dan limit waktu.  

Ketika tahta, jabatan dan pekerjaan itu lepas, beberapa di antara pria tidak mampu bertahan dalam suasana hati sedia kala. Mereka gagal move on, terus tenggelam dalam bayang – bayang kehebatan ketika fakta sudah sebaliknya. Mereka – mereka demikian itu tengah tertimpa post power syndrome. Menjadi pesakitan yang sunyi sendiri, bersedekap di atas kursi goyang penuh lamunan masa silam. Sementara para pesuruh sudah lama menyingkir dari telunjuknya, berpaling kepada tuan-tuan yang baru.

Para ahli mencatat, biasanya post power syndrome banyak menyerang seseorang yang baru pensiun, terkena pemutusan hubungan kerja, mereka yang pernah mengalami kecacatan karena kecelakaan, menjelang tua atau orang yang turun jabatan, dan seterusnya.

Hal ini semakin diperparah dengan kondisi mindset individu yang mengatasnamakan jabatan sebagai sesuatu yang sangat membanggakan pada dirinya. Semua ini bisa membuat seseorang menjadi frustasi dan menggiring pada gangguan psikologis, fisik serta sosial. Bagian terakhir itu, tentang tahta jabatan menjadi fenomena yang menarik untuk diangkat ke pembicaraan.

Tidak ada yang lebih penting dari sebuah jabatan menurut kacamata para petahana. Sepanjang  mereka diberikan kesempatan, dua kali duduk untuk pemimpin eksekutif dan hampir seumur hidup untuk anggota legislatif.

Ada beberapa anggota parlemen yang sudah menjabat ketika muda, dan terus mencalon diri hingga membentur dinding waktu. Tidak ada yang sanggup menghentikan mereka kecuali malaikat. Fenomena ini menjadi common sense, namun sedemikian paradoks dalam Trias Politika Montesquieu, bahwa legislatif adalah pilar utama demokrasi, namun petahana seumur hidup mencabut kesempatan untuk regenerasi dan penyegaran politik perwakilan.

Dalam perebutan tahta itu bagi pejabat negara mulai presiden sampai bupati, para wakil selalu menjadi musuh yang tertunda. Berbulan madu pada periode awal, tapi menjadi lawan sengit dalam perebutan kursi nomor satu berikutnya.

Para petahana mengerti betul bahwa kehilangan jabatan sangat tidak indah. Apapun caranya, kekuasaan akan terus digenggam. Jika dua kali menjabat level walikota misalnya, mengapa tidak mendamba kursi gubernur. Dengan modal sosial dan kapital yang penuh, para petahana berkemampuan untuk mendepak calon – calon terbaik. Para petahana tidak buruk, tapi selama ia bertahan dalam kekuasaan lalu menghilangkan kesempatan kepada individu yang lebih baik, maka itu adalah mudharat.

Tidak semua kekuasaan yang berakhir akan berakhir pula sebagai pesakit post power syndrome. Sepanjang niatnya adalah mengabdi untuk kebaikan. Jabatan hanyalah instrumen pengabdian.

Kekuasaan boleh copot, tetapi nilai diri seseorang akan terus bertahan. Akan menjadi tanda tanya besar bila seseorang begitu disanjung semasa menjabat, tapi dicampakkan begitu saja setelahnya. Berarti selama ini yang membuat orang takluk kepadanya hanyalah tanda pangkat, bukan kepada nilai individu yang melekat pada dirinya.

Baru – baru ini Arnold Schwarzenegger, seorang aktor laga Hollywood yang juga mantan Gubernur California menjadi viral. Arnold mengunggah fotonya yang sedang tidur di jalan di bawah patung perunggunya, dan menulis dengan sedih:  How times have changed .

Alasan dia menuliskan kalimat tersebut bukan karena merasa tua, tapi ketika jadi Gubernur California dia meresmikan sebuah hotel dengan patung perunggu dirinya di depan hotel tersebut. Pihak hotel menyampaikan ke Arnold, "Setiap saat Anda boleh datang dan ada kamar untuk Anda". 

Namun ketika Arnold sudah tidak menjabat lagi dan datang ke hotel itu, pihak hotel menolaknya dengan alasan bahwa hotel sudah penuh. Dia membawa kantong tidur dan rebah di bawah patung dirinya lalu berharap orang - orang bisa membayangkan sebuah kesedihan. 

Arnold ingin menyampaikan pesan bahwa ada saat mereka begitu menghargainya, dan saat sudah tidak menjabat lagi mereka lupa dan tidak berniat memenuhi janjinya. “Jangan percaya pada jabatan Anda, harta benda Anda, atau kekuasaan atau kecerdasaan Anda. Semua itu tidak ada yang abadi. Kecuali kehidupan setelah kematian,” sebagaimana tertulis dalam viral.

Meski pesan emosional tersebut menjadi pengunggah namun tak lepas dari sapuan hoax. Beberapa pihak telah membantah, tidak benar bahwa Arnold ditolak menginap di hotel yang di depannya ada patung dirinya, karena tidak ada hotel di situ. Arnold memposting foto itu pun diduga kuat hanya untuk bergurau.

Foto Arnold yang disapa Arnie sedang tidur di depan patung dirinya dimuat di Instagram pada 16 Januari 2016 namun viral di pertengahan 2017. “It’s a hoax, Arnie posted this as a joke,”  ujar netizen. “Arnold Schwarzenegger bercanda sejenak di Columbus, Ohio. Dia - kami duga - berpura-pura tidur di samping patung perunggu binaraga raksasanya yang berdiri di luar Greater Columbus Convention Center,” tulis media gosip terkemuka eonline.com (E!) pada 16 Januari 2016.

Lepas dari isu hoax, kisah Arnold adalah fenomena umum mengenai pergeseran perlakuan dari publik terhadap mantan pejabat. Hal inilah yang kemudian menjadi momok menakutkan bagi para petinggi. Seharusnya tidak, karena budi yang baik dikenang jua, kecuali tidak ada kenangan kebaikan yang membuat orang tersentuh untuk tidak mengubah cara mereka bertindak. ~MNT


Comments