Atlantis atau Halaman Belakang Singapura?





Oleh Muhammad Natsir Tahar

Meminjam frasa Aristoteles tentang Generatio Spontanea – generasi spontan dalam esensi lain -  orang Indonesia saat ini bukanlah makhluk yang muncul tiba – tiba. Gejala hedonis, konsumtif, narsis - ekshibisionis, pragmatis, instans, dangkal, apatis, mudah berkobar oleh sulutan api kecil, dan sederet tabiat minor lainnya adalah karena bentukan zaman yang berproses sekian lama.

Dulu Belanda datang membawa politik Devide et Impera lalu bangsa ini lumpuh. Beratus tahun lamanya kita bersimpuh di kaki kompeni, padahal jika menoleh sedikit ke belakang, Indonesia lebih hebat dari etnis Jermanik ini. Mereka hanya menang bedil dan otak kotor.
Kita rumpun Polinesia sudah mengembara sejak 3500 SM, sedangkan bangsa Viking sebagai pengarung laut terbesar di Eropa, baru menyentuh ombak samudera pada 1000 Masehi. 

Jika Plato benar, bahwa Indonesia adalah negeri di mana Atlantis berada (lihat: situs Piramida Gunung Padang di Jawa Barat), maka Belanda nyaris tidak ada apa- apanya.
Ketika kapal – kapal dagang Eropa baru bisa mengangkut puluhan penumpang, kehebatan armada Nusantara pada abad ke-14 sudah dipuja-puji oleh Ibnu Battuta, Rahib Odrico dan Jonhan de Marignolli. Kapal raksasa milik bangsa Indonesia dengan panjang 70 meter dan berat lebih dari 500 ton ini bahkan sudah mampu mengangkut 600 penumpang.

Selain ukurannya gigantis sekaligus juga adalah armada asing pertama yang menembus Madagaskar dan Tanjung Harapan di benua Afrika. Nusantara di bawah Majapahit tujuh abad yang lalu tercatat sudah memiliki armada Jong yang mencapai 400 kapal dan dikenal luas di jagat raya.

Imperium Nusantara seperti Sriwijaya, Majapahit dan Malaka adalah negara maritim yang gegap gempita pada masanya, sampai kompeni datang membawa peradaban kontinental lewat tanam paksa. Indonesia digeret untuk menghala ke darat setelah kerajaan – kerajaan itu dihancurkan. Negeri ini kemudian menjadi lokus agraris yang memunggungi samudera, memunggungi mercusuar kedigdayaan moyangnya.

Apa yang terjadi setelahnya adalah rangkaian panjang kemunduran Indonesia sebagai bangsa yang terhisap. Proklamasi Kemerdekaan RI hanyalah anti klimaks dari era penjajahan teritorial. Kolonialisasi atas Indonesia kemudian memakai wajah malaikat. Kita menyebutnya sebagai neo imperialis atau neo liberalisme yang tak pernah berakhir sebab Indonesia adalah kudapan gurih yang sangat sayang untuk dilewatkan.

Indonesia kemudian tumbuh sebagai negara kepulauan yang ‘mardeka’ tapi takut melihat lautan. Jalesveva Jaya Mahe, di laut kita jaya, itu dulu, kini tinggal semboyan untuk membesar – besarkan hati. Berkutat di darat pun untuk tanah sesubur Indonesia, mestinya kita menjadi lumbung pangan dunia, ini malah jadi pengimpor pangan terbesar di Asia Tenggara (Catatan: pernah sukses dalam swasembada beras di era Presiden Soeharto).

Lalu masuk era industrialisasi, petani – petani gamang dan memilih menjadi buruh pabrik. Lahan – lahan pertanian habis untuk melayani mesin – mesin kapitalisme. Aset dalam perut bumi dan hutan – hutan diserahkan kepada asing, sebagai gantinya kita mendapat pekerjaan berupah murah. Sambil hutang negara terus ditumpuk.

Pada akhirnya kita ke darat tidak, ke laut tidak. Dari kegiatan illegal fishing saja, sebelum era bakar membakar perahu nelayan asing ala Menteri Susi Pudjiastuti, sudah tak terhitung berapa ratus triliun kekayaan ikan yang dicuri. Indonesia sedang sekarat di lumbung padi.
Tak habis – habisnya kekayaan alam melimpahi negeri ini tapi pendapatan per kapita terus saja memilukan. Kita adalah penghasil emas, gas dan kayu lapis nomor satu dunia. Batu bara, minyak bumi, aneka logam, sawit, ikan dan produk pertaniannya sangat diperhitungkan dunia.

Lalu potensi maritim: 40 juta ton lalu lintas kargo per hari serta dilewati 21 juta barrel lalu lintas minyak dari Timur Tengah ke Asia Pasifik. Dari sisi potensi maritim ini saja, Indonesia dan khususnya Kepulauan Riau hanya menjadi penonton belaka ketika Singapura menghabiskan semua potensi itu.

Kepulauan Riau dengan luas daratan yang hanya 4 persen hampir tidak punya alasan untuk terus menerus mengurus daratan sehingga dengan setia menjadi halaman belakang Singapura.  

Di pemerintahan Jokowi sudah ada angin segar untuk menjadikan Kepri sebagai salah satu poros maritim Indonesia. Kita tunggu saja dengan lapang dada sepanjang bukan menjadi modus untuk membentang karpet merah bagi kepentingan asing.

****

Agar Indonesia tetap dapat dikeroyok ramai – ramai oleh konspirasi global, maka mereka melancarkan serangan melumpuhkan lewat proxy war atawa perang proksi. Ini adalah strategi perang cara pengecut. Mereka menggunakan kekuatan pihak ketiga untuk menghancurkan lawan.

Dalam presentasi Panglima TNI saat mengikuti Sidang ke-13 ACDFIM (Asean Chief of Defence Force Informal Meeting) tahun 2016 di Laos, Jenderal TNI Gatot Nurmantyo menegaskan, perang masa kini adalah perang berlatar belakang energi, pangan dan air. Letaknya di sekitar Equator dan ini akan menjadi tantangan besar karena semuanya akan mencari makan dan energi di negara-negara Asia Tenggara.

Maka bukan kebetulan bila Suriah, Libya, Yaman, Mesir, Irak, Kuwait, Iran, Sudan, Kongo, Nigeria menjadi wilayah konflik yang berdarah–darah karena semuanya adalah negara penghasil minyak. Terakhir adalah Ukraina, negara penghasil minyak cukup signifikan perharinya.

Perang proksi adalah strategi perang modern yang diduga sudah berlangsung lama di Indonesia. Cara yang dilakukan adalah infiltrasi melalui bidang - bidang intelijen, pendidikan, ekonomi, ideologi, politik, sosial, kultur dan agama, bantuan-bantuan, kerjasama di semua bidang serta media massa dan teknologi informasi. Tahapan berikutnya adalah melancarkan praktik adu domba dengan operasi senyap hingga sampai pada tahap cuci otak.

Yang sudah tercuci otaknya akan menjadi generasi yang memiliki paradigma berpikir kontraproduktif sebagaimana tertulis pada paragraf pembuka tulisan ini. Fenomena ini terpampang di mata kita saban hari di laman sosial media dan layar kaca. ~MNT


Comments