Ilustrasi: pbs.twing.com |
Oleh Muhammad Natsir Tahar
Manusia
mampu mencipta semestanya sendiri, apakah bahagia atau nestapa. Tuhan sudah
selesai merekayasa cetak biru kehidupan, sedangkan manusia menjadikannya hitam
atau putih. Kepada manusia diberikan tongkat ajaib yang akan menuntun seluruh
proses. Tongkat ajaib itu adalah prasangka.
Kalau
boleh menebak, manusia – manusia menyangka neraka akan jauh lebih besar dari
surga. Manusia memeluk keyakinan dari agama – agama yang mulanya sangat
terpencil, kemudian meluas, ditolak atau diterima. Agama – agama tidak pernah
menjangkau seluruh bumi. Lalu setiap agama mengklaim paling masuk surga. Jika
umatnya hanya sepersepuluh dari penduduk bumi, maka sembilan dari sepuluh
lainnya adalah penghuni neraka. Dengan demikian bisa saja dengan sangkaan ini,
luas neraka akan sembilan kali lipat dari surga.
Tampaknya,
Tuhan hanya menciptakan umat manusia seperti catatan statistik: sembilan dari
10 orang akan dibakar. Manusia dicipta semata untuk dibakar kecuali sedikit
orang suci dan nabi - nabi. Itu belum termasuk umat seagama yang pendosa, yang
tentunya tidak akan bisa tiba di surga dengan bangga tanpa melewati ruang
pembakaran penuh siksa.
Dari
premis sedemikian rupa, manusia terliputi oleh pengaruh – pengaruh neraka.
Sebentang sejarah bumi adalah konstalasi dari tragedi, Tuhan seolah melihat
dari ketinggian dengan wajah murka, lebih banyak menghukum dengan sedikit
pengampunan. Hingga akhir zaman sekarang, kita telah menonton semua keburukan
itu. Keburukan purbawi yang diturunkan secara genetis.
Berita –
berita yang disiarkan dari layar gelas sampai viral – viral sosial media,
didominasi oleh framing yang disusun dari anasir negatif:
perang, genosida, persekongkolan, penyelewenangan, pembunuhan, tangkap tangan,
rekayasa, pergaulan bebas, obatan terlarang, konspirasi, kecelakaan, bencana
alam, perkosaan, politik kotor dan kampanye hitam.
Kita
lebih suka melihat berita buruk ketimbang puja puji. Lebih gemar melihat
kengerian daripada suka ria. Lebih hapal wajah koruptor ketimbang wajah penemu.
Yang viral itu anak baru tumbuh yang terekam main kuda – kudaan, ketimbang
juara Olimpiade Fisika Internasional. Jangan salahkan jurnalisme zaman sosmed
yang memihak kabar sensasional ketimbang faktual, karena wajah industri media
adalah pantulan cermin buram dari pilihan masyarakat.
Mulai
zaman Batu Tua (Paleolithikum) hingga zaman Lembah Silikon, manusia
didominasi oleh aura negatif, seolah ingin membuat pembenaran bahwa neraka
memang kampung akhir hampir semua orang. Jelata merindukan perang seperti
moyangnya. Para tiran berdiri di atas podium dengan wajah malaikat untuk
mendiktekan hasrat haus kuasa.
Sebanyak
– banyaknya orang percaya bahwa dunia adalah tempatnya masalah. Sehingga
keburukan adalah bagian yang sulit dipisahkan. Tapi mari kembali ke paragraf
awal: Manusia mampu mencipta semestanya sendiri, apakah bahagia atau nestapa.
Ada
manusia yang bisa melihat sisi baik dari semua fakta dan fenomena. Baginya
segalanya adalah baik atau kebaikan yang tertunda. Jika sesuatu itu memang
buruk, pastilah itu hikmah tersembunyi. Tuhan diimajinasikan sebagai zat penuh
kelembutan dan pengampunan. Prasangkanya terhadap Tuhan dan umat manusia adalah
prasangka kebaikan. Ia memancarkan aura positif kemanapun perginya.
Literatur
psikologi menyebut, Aura merupakan sebuah energi daya tarik yang berada di
dalam diri manusia, sehingga ia bagaikan medan elektromagnetik yang
mengelilingi tubuh manusia (Human Energy Field - HEF) untuk
menarik setiap energi yang ada di sekitarnya.
Studi
dari The Law of Attraction telah menyebabkan ribuan orang
mengubah hidup mereka menjadi lebih baik. The Law of
attraction atau Hukum Tarik Menarik mengupas banyak hal tentang
keterikatan manusia dengan semesta yang saling terkoneksi. Pikiran – pikiran
atau prasangka yang baik akan menarik lebih banyak kebaikan pada diri
seseorang, demikian pula sebaliknya.
Orang
yang memiliki aura positif akan selalu bahagia dan penuh syukur bagaimana pun
kondisinya. Bahkan mereka mampu membuat seseorang yang mulanya bengis menjadi
santun dan hormat kepadanya. Ia penuh kharisma, berwajah ceria dan mengundang
simpati dari khalayak.
Jika
dalam suatu negeri lebih banyak orang yang beraura positif atau memancarkan
energi positif, maka damai dan makmurlah negeri itu. Orang – orang positif jauh
dari sikap fatalistik yang menyerembabkan mereka dalam derita. Orang –
orang positif tidak terjebak kepada paham eksistensialisme yang untuk tujuan
tertentu tak mampu membedakan benar dan salah.
Orang – orang positif, gerak laku dan pikirnya
adalah dialektika menuju kebenaran hakiki. Maka ia terbuka untuk semua
diskursus dan ide – ide terbaik dari siapa saja. Orang – orang positif dekat
dengan Tuhannya, memegang teguh keimanan tapi tak lancang membuat daftar siapa
yang masuk ke surga dan siapa pergi ke neraka.
Orang – orang positif tidak memukul tapi merangkul. Baginya rahmat Tuhan jauh lebih besar dari kemurkaan-Nya. Orang – orang positif lebih sedikit di alam nyata, lebih banyak di alam imaji. ~MNT
Orang – orang positif tidak memukul tapi merangkul. Baginya rahmat Tuhan jauh lebih besar dari kemurkaan-Nya. Orang – orang positif lebih sedikit di alam nyata, lebih banyak di alam imaji. ~MNT
Comments