Ilustrasi: sharedprayerspaces.com |
Oleh Muhammad Natsir Tahar
Dari
sudut budaya pop, ateisme tak terlalu disentuh lebih dalam. Ketika hari - hari
terakhir ini seorang Rina Nose disebut – sebut Ateis, diskusi soal cara hidup
tanpa Tuhan menjadi viral.
Tidak
mudah menjelaskan konsep Ateisme secara ngepop apalagi doktrin,
maka bila tulisan ini dianggap memiliki segi - segi yang ‘kurang ajar’, sebatas
untuk membuktikan bahwa itu memang tidak mudah.
Ateisme
sebagaimana kita sudah paham adalah konsep yang bertendensi kepada penolakan
Tuhan. Diksi pemutusan hubungan dengan Tuhan sudah ada sejak abad kelima
Sebelum Masehi. Sebagai tuduhan sepihak para Pagan kepada kolektivitas
Monoteisme yang meninggalkan dewa – dewa batu. Monoteisme yang dibawa Nabi
Ibrahim dianggap ateis, karena menyembah Tuhan yang tak kelihatan dan berasal
dari ketinggian.
Pada abad
18, Ateisme mulai dideklarasikan secara eksplisit di benua Eropa untuk tidak
memilih tuhan manapun. Ateis adalah suatu kepercayaan untuk tidak percaya.
Sebelum itu terjadi pergumulan. Terdapat berbagai ambiguitas dan kontroversi
yang terlibat dalam pendefinisian ateisme. Terletak pada sulitnya mencapai
konsensus dalam mendefinisikan kata-kata seperti dewa dan tuhan sebelum Ateis
yang sebenarnya memunculkan diri.
Penganut
Ateis bisa saja berasal dari dua golongan, pertama adalah mereka yang memang
malas bertuhan dan terlalu hedonistik, kedua adalah para cendikia yang tersesat
dalam lautan ilmu. Yang terakhir ini adalah orang – orang yang mencoba
mengkonversi ilmu pengetahuan dengan kegagalan mencari Tuhan. Lebih jauh mereka
menggunakan filsafat Agnostik yang mengombinasikan antara teologi, metafisika
dan eksistensi Tuhan namun patah di ujung jalan karena tidak memiliki informasi
dasar yang dapat diverifikasi secara rasional.
Proses
bunuh diri kadang erat kaitannya dengan metode pembuktian para ateis.
Dalam Capita Selekta Muhammad Natsir, dikisahkan tentang
seorang ilmuan Belanda bernama Prof. Paul Ehrenfest yang ingin menembus alam
baka untuk membuktikan Tuhan. Sebab seluruh rahasia ilmu telah ia tuntaskan,
namun jiwanya tak menemukan Tuhan di sana. Ia bunuh diri setelah membunuh anak
tunggalnya.
Adakah
korelasi jamaknya kasus bunuh diri di Jepang yang 65 persen penduduknya mengaku
tak beragama? Bisa ia dan tidak. Asbab, Fisikawan Ehrenfest ingin melompat ke
alam baka sebagai bagian dari eksprimen, tapi di Jepang lebih banyak ke soal
solusi dan kausalitas dari rasa putus asa, budaya malu dan habisnya harapan
hidup. Ateis berada di puncak kesombongan: Tuhan tidak ada dan tidak ada solusi
religi atau doa – doa.
Ateis
memang tak perlu dibela. Tapi jika kita ingin mengambil posisi untuk menyelami
cara pikir mereka, akan banyak ditemukan narasi yang menggelitik. Paling tidak
sebagai otokritik dari sebagian kita yang menyandu agama, tapi tak memberi
kebaikan pada semesta kecuali perebutan egosentris menuju surga dengan membuat
kerusakan. Juga otokritik kepada kita yang mengaku bertuhan, tapi
melepaskan-Nya begitu saja bahkan melumuri hidup dengan dosa.
Kalau
hidupmu sudah sebaik ini tanpa agama, lalu kenapa kamu ingin mencari Tuhan dan
ingin memiliki agama?- inilah quote Rina
Nose yang menjadikan ia “ateis” seketika, dan berpotensi membuka ruang
wacana ateisme ke ruang publik sebagai alternatif atau solusi, meski jika
dikutip secara utuh mulai paragraf awal, maka nilainya akan berbeda.
Sebenarnya
Nose sedang melakukan permenungan filsafat, tentang agama yang gagal
menjalankan fungsinya untuk membuat seseorang menjadi baik. Ia sekaligus
melangsungkan otokritik, ia gelisah melihat fakta sisi gelap orang beragama dan
ketika menyaksikan banyak orang mengaburkan agama dari esensi. Premis atau
mungkin sintesa dari filsafat Nose adalah bahwa agama pasti membawa
kebaikan bagi penganutnya.
Paham
Ateis menyimpang telak pada bantahan terhadap prima causa atau
sebab tunggal terciptanya alam semesta yakni Tuhan. Selebihnya adalah argumen –
argumen menggelitik yang – tanpa sengaja – justru membesarkan Tuhan dan
menambah derajat keimanan para Teis atau orang (yang bijak) beragama.
Misalnya,
jika ada 1000 agama di dunia maka hanya satu agama yang benar sebagai penghuni
surga dan 999 agama akan menjadi penghuni neraka. Ketika pertama sekali
agama muncul dari entitas terkecil berkisar 10 atau 20 orang, dan pada saat
bersamaan kiamat tiba, maka bayangkan miliaran penduduk bumi yang mati
serentak, lalu Tuhan hanya mengangkat puluhan orang ke surga dan sisanya
dilempar ke neraka.
Jika
diteruskan hingga ribuan tahun ke depan, dapat dijelaskan sendiri perbandingan
jumlah penghuni surga dan neraka. Lalu ketika agama – agama tidak menjangkau
bangsa – bangsa primitif di belantara hutan dan benua kutub, maka pastilah
mereka diciptakan hanya untuk dipanggang di neraka, demikian sia - sianya.
Ateis selalu mempertanyakan keadilan Tuhan untuk mengatakan Tuhan tidak ada.
Paradoks, dunia tidak selalu adil, sampai Tuhan mengadilinya di hari pembalasan.
Ateis
beragumen, di antara miliaran galaksi berjarak ratusan ribu cahaya, kenapa
Tuhan hanya peduli dan memuliakan sekelompok kecil manusia bumi (pemilik agama
terbenar), yang super super super kecil dan sedikit dari seluruh jagat raya.
Sains
selalu dapat dibuktikan, tapi agama tidak. Sebentar lagi kata Ateis, ilmu
pengetahuan akan sanggup menghidupkan orang mati dan pelan – pelan mengambil
alih pekerjaan Tuhan lainnya. Dan seterus, dan seterusnya.
Maka, semakin diteruskan tulisan ini akan semakin ‘kurang ajar’. Yang jelas kita harus memegang kuat – kuat konsep keimanan kita bahwa Tuhan Maha Agung, Maha Besar dan Maha Bijaksana. Tuhan adalah pemilik miliaran galaksi yang senantiasa tunduk pada-Nya. Maafkan Nose yang tanpa sengaja membuka wacana ini. ~MNT
Maka, semakin diteruskan tulisan ini akan semakin ‘kurang ajar’. Yang jelas kita harus memegang kuat – kuat konsep keimanan kita bahwa Tuhan Maha Agung, Maha Besar dan Maha Bijaksana. Tuhan adalah pemilik miliaran galaksi yang senantiasa tunduk pada-Nya. Maafkan Nose yang tanpa sengaja membuka wacana ini. ~MNT
Comments