Pengabdi Zionis


Ilustrasi: mentalfloss.com

Oleh Muhammad Natsir Tahar

Kota otomotif Detroit pernah sekarat dan segera lapuk. Kota ini memohon kepada pemerintah Amerika Serikat agar diberikan asupan sekadar satu miliar dolar. Tapi apa yang terjadi, Amerika memilih menyusui anak beruk di tepi hutan ketika anak kandungnya sendiri hampir mati kehausan. Sebuah kota bernama Tel Aviv di seberang lautan luar biasa benderangnya saat Detroit makin meredup.

Robert Fantana, seorang pengamat menulis, pada medio 70–an sejumlah kota di Amerika tampak menguncup, beberapa aset penting dijual untuk menutupi anggaran belanja mereka. Tapi dengan pajak yang ditarik dari rakyat, Amerika menyalurkan sembilan juta dolar tiap hari ke kas Israel. Detroit hanya butuh satu miliar untuk bertahan hidup, tapi Tel Aviv mendapat tiga kali lipatnya secepat kilatan petir semata demi vaganza dan senjata.

Payah masuk akal, negara digdaya yang disegani dunia berkat menggabungkan politik imperialis, politik prestise dan politik gertak sambal (bluff)–meminjam kitab klasik Hans J Morgenthau–di antaranya juga seremonial diplomatik yang menggelikan bersama negara–negara sok hebat lainnya, harus menurunkan bahu di hadapan Zionis Israel.

Morgenthau menggambarkan Politik Gertak Sambal seperti muslihat teater dengan membiarkan sejumlah figuran memakai seragam prajurit lalu lalang di atas pentas, menghilang di balik dekor, muncul lagi berulang–ulang untuk menciptakan efek khayalan bahwa terlalu banyak serdadu yang berbaris.

Amerika tampak berotot dari luar, tapi tidak di jantungnya. Nuim Mahmud Khaiyath dalam buku Membongkar Kesaktian Israel dengan sinis menyebut, seandainya pejabat dan wakil rakyat Amerika disuruh meloncat oleh agen Israel, maka respon mereka adalah, “Dari tebing yang mana?”.

Sebuah kekuatan politik terkuat di Amerika berbasis Yahudi bernama American Israel Public Affairs Committee (AIPAC) adalah salah satu biang keladi. Amerika berada di puncak tertinggi para sahabat Israel berlandaskan dinamika yang rumit. Tidak hanya lobi, tapi juga tekanan – tekanan. Tidak hanya karena merasa punya satu musuh bersama - dulu komunis, sekarang Islam radikal - tapi juga pemuasan politik kapitalisme hingga pemenuhan nubuat akhir zaman yang dikutip dari Perjanjian Lama.

Terkait AIPAC, ketika misalnya seorang calon legislatif berhasil mengalahkan calon yang didukung AIPAC–suatu keganjilan yang jarang terjadi dalam pemilu Amerika–ia akan lambat laut sowan ke AIPAC untuk menyatakan pengakuan dosa karena telah lancang. Dosanya kemudian diampuni dan agar lain kali tidak berani menantang AIPAC, sampai kemudian ia menjadi “petahana yang bersahabat”.

Terlalu banyak alasan yang dibuat Zionis demi melanggar tapal batas di Gaza sembari membuat kota itu membara, sebanyak alasan Amerika menjadi tameng diplomatik paling utama. Apakah itu bersifat historikal atau futuristis hingga menjadikan Gaza sebagai penjara berdarah terbesar di dunia. Belum ada yang seberani Netanyahu yang bergegas dari Tel Aviv untuk menegur Obama di Oval Office, sebab Obama berani mengungkit tapal batas 1967 antara Israel dan Pelestina yang dilanggar Zionis.

Di akhir hayatnya, Presiden Amerika Wodrow Wilson menyesalkan sebuah keputusan yang berakibat memasung Amerika Serikat sampai seluruh waktu terakhir. Tahun 1914, Wilson menyerahkan – begitu saja – kekuasaan untuk mencetak uang kepada seorang pebisnis utama Yahudi dari klan Rothschild.

Rothschild adalah pemilik The Federal Reserve atau The Fed, sebuah lembaga partikuler yang bukan milik pemerintah dan bukan pula milik warga asli Amerika, tapi milik Yahudi dari seberang lautan. Ini untuk menyebut bagaimana Amerika berada dalam cengkaman Yahudi sampai pembiayaan kampanye, untuk kemudian mempengaruhi posisi politik internasionalnya yang absurd.

Pasca Perang Dunia II, Menteri Luar Negeri Amerika George Marshall menyampaikan kepada Presiden HS Truman bahwa berdirinya negara Israel akan banyak mudharatnya ketimbang manfaatnya. Tapi apa kata Truman, di antara ribuan konstituennya yang mendambakan Zionisme berhasil, tidak ada satu pun warga negara keturunan Arab. Truman bulat-bulat memihak atas pertimbangan politik kekuasaan.

Israel diprediksi akan membangun Israel Raya berdasarkan Perjanjian Lama tentang Tanah yang Dijanjikan sepanjang Nil Mesir dan Eufrat Irak. Namun perspektif ini perlu diluaskan karena tidak semua Yahudi yang mendukung Zionis, beberapa di antaranya mendebat dengan sengit. Di Israel sendiri ada Neturei Karta (Penjaga Kota) sebagai kelompok religius Yahudi yang lahir pada tahun 1938.

Kelompok ini menentang paham Zionis dan pembentukan Negara Israel. Berdasarkan keyakinan mereka, orang-orang Yahudi dilarang untuk memiliki negara mereka sendiri sampai kedatangan Mesias Yahudi. Kelompok ini dikenal sebagai pendukung Palestina.


Sedangkan Islam akan memenuhi nubuat akhir zaman dengan perang tak terhindarkan hingga Yahudi tersudut di balik batu dan pohon yang bisa berbicara. Tapi untuk jangka pendek, kandungan minyak bumi dan gas di dalam bumi Gaza akan lebih menggoda. Kehausan Israel akan gas, membuat mereka makin beringas menghantam Hamas yang masih bertahan dengan roket yang selalu melenceng.

Dalam soal ini, baik Zionis maupun Otoritas Palestina Al Fattah (sebagai lawan politik Hamas) sama – sama tak menginginkan Hamas berlama–lama di Gaza. Soal gas, Al Fattah bahkan sudah pernah bermain mata dengan Inggris.

Menelisik lebih jauh apa biang penyebab Amerika menjadi pengabdi Zionis adalah transformasi budaya dan cara pandang Yahudi ketika terjadi eksodus dari Inggris menuju Amerika pada abad pertengahan. Menurut Edward Bernard Glick, ada alasan historis mengapa ada keterkaitan ini. The Pilgrim Fathers–julukan untuk asal usul Anglo Saxon di Amerika–membawa serta Kitab Perjanjian Lama dalam bahasa asli Ibrani.

“Tidak ada negara lain mana pun di zaman itu yang begitu serupa dengan negeri Bani Israel. Kedua bangsa ini begitu mirip dalam kebahagiaannya, dalam kekhasannya dibanding bangsa–bangsa lain,” demikian petikan khutbah pendeta Abied Abbot dalam tahun 1799 dengan judul “Persamaan – persamaan bangsa Amerika Serikat dan Bani Israel”.  ~MNT





Comments