Drama Queen

Ilustrasi: www.etsy.com

Oleh Muhammad Natsir Tahar

Siapa tahu, kita tiba pada suatu masa, ketika sistem pemilu sudah terdigitalisasi sedemikian rupa, bahkan jauh melompati teknologi e-Voting yang kini mulai diwacanakan. Titik fokusnya bukan lagi pada soal klasik semisal memungut suara dengan sekali klik di layar sentuh, tapi lebih kepada basis data dari A sampai Z tentang kandidat yang akan dipilih.

Para kandidat tidak lagi melewati suatu ritus politik yang menjemukan dan bertele – tele, sebuah sistem data besar berbasis Coexistence of Cloud and On-Premises Databases –katakanlah demikian - langsung merilis tiga atau lima besar persona yang memenuhi semua kriteria. Mereka akan memuncaki panggung politik digital tanpa perdebatan, dan sistem tidak akan berdusta bahwa merekalah manusia terbaik untuk memimpin.

Seperti sebuah kota bernama Elysium City pada tahun 2100 yang digambarkan Hollywood, rekam jejak setiap orang sudah tercantum pada database mulai dari derajat kesehatan jasmani dan psikologi hingga kepada peta genetika dan prediksi yang 100 persen akurat. Setiap warga negara sudah terkategori secara otomatis, tentang potensi – potensi, siapa saja yang punya kemapanan menjadi pemimpin, pebisnis, teknokrat, seniman atau yang hanya mampu menghirup oksigen.

Sistem ini akan mereduksi seluruh potensi human error dalam proses demokrasi, akibat kesalahan menempatkan dan menemukan kandidat terbaik, baik oleh tabiat politik yang terlembaga maupun ekspekstasi individu yang gagal menebak. Dengan rekam jejak setiap orang yang sudah tergitalisasi paripurna, siapapun menjadi punya kesempatan penuh untuk dipilih sebagai pemimpin, tidak peduli apakah seseorang itu selama ini lebih banyak pergi ke hutan atau seorang pertapa yang tak pernah bersua dengan akses politik apapun.

Aroma – aroma paternalisme, romantisme, kultus individu, primordialisme, populisme dan seterusnya segera menguap dan tergantikan dengan akurasi dan efektifitas. Hasil akhir pesta demokrasi yang selama ini terkacaukan oleh pretensi dan pencitraan tanpa esensi mau tidak mau akan kembali ke jalan yang benar. Jalan yang mestinya telah ditempuh oleh sistem demokrasi sejak zaman Abraham Lincoln.   

Tidak ada lagi kampanye model lama, mengumbar-umbar janji lewat jejeran baliho yang menganggu estetika kota atau publikasi narsistik sosial media. Tidak ada polarisasi, tidak ada keributan superfisial. Demikian pula mobilisasi massa robotik berseragam partai yang lebih memanfaatkan sisi entertainment­­ ketimbang mematuti a,b,c,d pidato kampanye: glorifikasi minus dialektika. Karena seluruh program pembangunan sudah dirumuskan oleh kumpulan pakar terpercaya ke dalam sebuah prototipe atau cetak biru, tinggal menentukan siapa yang paling sanggup menjalankannya.

Para kandidat tak perlu lagi memperkenalkan diri kepada setiap orang - aku si anu, telah dan akan berbuat apa jika terpilih - karena seluruh sejarah dan atribusi apapun yang melekat pada dirinya, sangat mudah diakses oleh siapa saja dengan sekali ketukan pada layar gawai.

Kita bisa mengenang, bahwa hasil akhir dari sebuah konstestasi politik selalu tidak merupakan hasil yang paling maksimal, jika tidak ingin dikatakan gagal secara teori. Ini sebagai balasan dari kerja – kerja demokrasi dan mesin politik yang digerakkan untuk pola pengkaderan selalu parsial dan eksklusif. Akhirnya orang – orang hebat gagal atau sengaja tidak ditemukan, atau mereka sendiri yang sejak awal menghindar karena tak mampu menembus domain politik. Akhirnya parameter demokrasi hanya diukur dari prosedur, angka dan transparansi.

Fenomena lain, ketika para kandidat dipertemukan dengan masyarakat pemilih di lapangan terbuka demokrasi, ketika itu pula mereka akan saling mengerkah. Michael Sandel, filsuf dari Havard University pernah berujar, what money can’t buy? Apa yang tidak bisa dibeli dengan uang? Masyarakat bahkan tidak perlu tahu apa makna politik transaksional ketika mereka melakukan itu.

Sejauh ini, kita tidak pernah ingin berkeringat untuk menemukan pemimpin terbaik. Semuanya memainkan jalan singkat, apa yang ada di depan mata dan itu akan selalu dianggap sebagai demikian adanya (common sense). Maka apa yang disebut sebagai demokrasi itu sebenarnya belum pernah ada, kecuali yang ditampilkan oleh sekelompok aristokrat secara seolah - olah.

Tidak heran bila yang muncul pada siklus lima tahunan adalah kelompok oligarki, yang berputar pada segelintir orang bahkan secara generatif. Sedangkan rakyat yang tertarik pada konstestasi politik lebih banyak diisi oleh kerumunan juru sorak dan tukang elu – elu. Yang lain tenggelam dalam urusan masing – masing dan tak peduli.

Lebih menyedihkan dari semua itu adalah ketika psikologi massa dimanipulasi oleh politik drama queen. Beberapa kandidat pernah mencoba cara ini dan terbukti efektif. Seseorang yang memainkan emosi secara ekstrem serta melakukan dramatisasi.

Kadang – kadang mendudukkan posisinya sebagai seseorang yang terzalimi untuk menimba simpati, lain waktu ia merasa harus menjadi pusat perhatian dengan tampil gemerlap seperti bangsawan, keinginan berlebihan untuk mendapatkan fokus perhatian orang lain, memulai rekayasa sesaat dan apa – apa yang menguntungkan secara politik akan didramatisasi termasuk kampanye hitam.

Pemilih yang cerdas mestinya ditandai dengan kemampuannya menapis semua ujian demokrasi yang datang bertubi – tubi melalui cara – cara pencitraan, artifisialisasi atau kepalsuan serta memiliki daya tahan untuk tidak terhipnotis oleh intrik drama queen. Sebab kalau menunggu e-Voting dengan akurasi sistem database  itu, sepertinya entah kapan - kapan. ~MNT






Comments