Mengepung Istana Negara



Iustrasi: shutterstock.com

Oleh Muhammad Natsir Tahar

Mereka sedang mengepung istana negara. Mereka datang bukan untuk menjadi volunter atau pekerja sosial, tapi demi kekuasaan. Apakah yang sedang memihak petahana atau oposisi, itu sama saja: untuk menjadi tuan mereka menampilkan dirinya sebagai pelayan.

Demi kebebasan berpikir, kosongkan semua hasutan kampanye dari pikiran kita. Karena banyak dari mereka mula-mula datang dengan untaian janji sebentuk puisi, untuk kemudian setelah memerintah mereka menggunakan prosa dan menjelaskan bahwa janji itu tidak bisa ditunaikan.

Mereka telah sekian lama membuat keadaan tampak rumit agar mereka punya alasan untuk berpuisi. Tapi kenanglah kata-kata Martin L. Gross: kita hidup di sebuah dunia di mana politik telah mengganti filsafat. Saya akan sependapat jika ada yang mengatakan, bila seseorang sedang mendekati filsafat maka ia sedang menjauhi politik.

Narasi-narasi dalam politik tidak jujur untuk sesuatu yang mereka sembunyikan. Bahwa politik tak kan sanggup menyentuh semua seperti filsafat melakukannya. Di dunia nyata filsafat tampak seperti igauan orang-orang tua berjanggut yang sering bertapa di Acropolis, Yunani kuno. Tapi demi kebaikan dan ketinggian akal budi, filsafat harus dijalankan, apatah lagi ketika dogma semakin dianggap sebagai alat belaka.

Di bawah payung demokrasi, satu, dua, tiga partai dan seterusnya selalu mencurahkan energinya yang terbesar untuk mencoba membuktikan bahwa partai lain tidak cocok untuk memerintah. Partai lain dari kelompok lawan juga melakukan hal yang sama. Jika mereka sedikit berfilsafat, mereka akan sadar bahwa semua itu adalah produk bualan karena negara dapat dijalankan begitu saja dengan Cetak Biru.

Kerahkan seluruh orang-orang hebat, pakar, begawan, super ahli ini itu dari seluruh disiplin ilmu dalam satu wadah. Tugasi mereka memaksimalkan potensi tertingginya untuk merumuskan Cetak Biru atau blueprint Indonesia dengan tingkat keakuratan mendekati 100 persen. Jika plan A gagal, maka ada plan B, atau C dan seterusnya hingga negara ini paripurna. Tanpa harus menunggu banyak hal yang tidak penting melompat dari mulut juru kampanye.

Seperti yang diucap Plato ribuan tahun lalu, mereka yang terlalu cerdas untuk terlibat dalam politik dihukum melalui pemerintahan oleh mereka yang lebih bodoh. Orang-orang cerdas yang berpotensi menciptakan Cetak Biru Indonesia mungkin saja telah dijungkal karena politik menolaknya. Maka sebaiknya Cetak Biru itu dirumuskan dan diadopsi menjadi haluan negara, untuk memastikan bahwa negara ini menemukan utopia-nya meskipun demokrasi kita –hampir selalu- gagal menemukan pemimpin yang tepat.

Biarlah para pengepung Istana Negara membentuk sejarahnya sendiri-sendiri seperti paduan suara orang-orang yang sedang ketawa serentak, namun biarkan negara ini berjalan secara auto pilot melalui karya agung Cetak Biru-nya. Dan biarkan kaum milenial di bawah atas permukaan, memuaskan olok-olok dan debat parsialnya yang nirfaedah, sampai hidayah itu tiba.

Indonesia hari ini seperti Laut Merah yang dibelah Musa. Mereka yang di seberang sini dan di seberang sana, para elit-nya hanya punya satu tujuan yakni kekuasaan dan kenikmatan-kenikmatan di dalam istana. Apakah di pihak petahana atau oposisi, itu adalah soal seni melempar dadu atau susunan puzzle. Politik aliran bahkan mulai terlihat seperti  instrumen belaka untuk membuat perebutan kekuasaan tampak dramatis dan paling bersejarah.

Tugas kita yang di bawah sini adalah mesti selalu awas, ketika kumpulan rubah sedang menunjukkan minatnya untuk memperpanjang umur unggas yang menjadi santapannya. Tugas kita bukan berdebat dan mengagung-agungkan orang lain yang kita junjung, dalam politik bahkan tokoh sekelas nabi pun bisa diciptakan.

Yang kita perlu waspadai ketika para pengepung istana melaksanakan strategi ghost protocol atau ketika kekacauan tidak bisa ditebak siapa pelakunya dan demi apa, sementara kita telah larut dengan narasi-narasi yang bertolak belakang dengan fakta di bawah permukaan.

Filsafat dan politik akan menjadi dua hal yang kontra ketika politik yang dijalankan semata-mata demi kekuasaan. Filsafat adalah pemahaman tentang kenyataan yang diperoleh secara logis, kritis, rasional, ontologis dan sistematis. Sedang politik terlihat seperti gimmick, trik dan intrik.

Para filsuf era modern mulai Thomas Hobbes, Machiavelli, John Locke, Jean-Jacques Rousseau, John Rawls, serta Jurgen Habermas telah memikirkan bagaimana filsafat dan politik bisa disandingkan, sehingga kita mengenal istilah Filsafat Politik.

Ini akan menjawab masalah-masalah bertema kebebasan, keadilan, hak milik, hukum, pemerintahan, dan penegakan hukum oleh otoritas yang dapat dijalankan di luar Cetak Biru. Namun akan selamanya sulit diwujudkan ketika para penghuni Istana Negara bukanlah pecinta kebijaksanaan dan tidak memiliki minat khusus untuk menyelami kebutuhan rakyat pada tempat dan saat yang tepat.

Selama musim kampanye, angin terisi penuh dengan pidato-pidato – dan sebaliknya pidato hanya berisi angin (Anonim). ~MNT


    



Comments