Metabahasa Mitologi Hang Tuah

Ilustrasi: google.com


Oleh Muhammad Natsir Tahar

Epos Laksamana Hang Tuah menggelinding di antara mitos dan fakta. Kedua irisan ini akan tarik menarik sepanjang hikayat Melayu. Menarik untuk mengupas epos Hang Tuah ini ke dalam empat ide dasar sejarah umat manusia: mitos, sastra, filsafat, dan ilmu.

Dimulai dengan menjawab tanya mengapa tulisan saya selalu sulit memisahkan diri dengan historika filsafat Yunani. Bukankah ada filsafat Timur dan filsafat Islam? Baiklah, setiap sejarah punya masa keemasannya. Tidak ada yang benar-benar emas ketika di dalamnya tidak terhias oleh kekaguman mitologis.

Ini kedengarannya agak licik, bila untuk glorifikasi sejarah moyangnya, umat post-modernis masih bergelayut kepada mitos  yang sejak zaman Aristoteles sudah mulai dienyahkan demi memulai pertapaan di atas batu logika. Tidak ada yang muskil bila kita mulai meminjam telunjuk filsafat guna memberi tahu di mana benang merah itu.

Filsafat Barat dan Filsafat Islam secara metodologis memiliki kesamaan yang sangat kuat terutama dalam hal logika analisis-nya. Paling tidak seperti dikuatkan oleh Prof. Yuval Noah Harari dalam Sapiens, bahkan disebutkan sejarah filsafat Islam memenuhi ruang kosong yang begitu lama terendapkan ke dalam bumi Yunani ketika orang-orang Barat kehilangan jejak Aristoteles dalam masa seribu tahun. Begitu banyak literatur yang menjelaskan hal ini, bila ada yang mengatakannya abu-abu.

Dengan sedikit melihat kaitan antara Averros (Ibnu Rusyd) dan Avicena (Ibnu Sina) dengan Aristoteles serta Jalaludin Rumi dengan Plato, keterhubungan itu akan terlihat.

Sejak Parameswara atau Sultan Iskandar Shah (1344 - 1414), mitologi dan kesejarahan Melayu mulai berpelukan ketat dengan teologi Islam. Ini untuk menjawab pencantuman filsafat Barat dalam diskursus kemelayuan bukanlah dua hal yang dipaksa-paksakan.

Sedangkan Filsafat Timur tidak begitu identik dengan dogma mayoritas Melayu. Filsafat Timur berkiblat kepada Konfusianisme oleh Confucius dan Tao oleh filsuf Chuang Tzu. Apatah dari segi metodologinya, Filsafat Timur menggunakan logika sintesis yang berbeda dengan teks-teks Islam maupun Barat pada umumnya.

Terlihat mencolok ketika misalnya Chuang Tzu yang mensintesis (menyetarakan) segala macam hal yang berlawanan. Ketika Islam telah membuat pembedaan yang tegas antara siang dan malam, lelaki dan perempuan, dahulu dan masa depan serta seterusnya.

Kemudian dari sisi mitologis, kita sudah dikisahkan bahwa Maharaja Melayu Sang Sapurba adalah keturunan dari Iskandar Zulkarnain, untuk kemudian kita harus menerima bahwa belum ada tembok besar yang memisahkan antara Iskandar Zulkarnain dengan Aleksander Agung dari Makedonia, Yunani.

Aleksander adalah murid privat dari Aristoteles. Sang filsuf menghabiskan waktu cukup lama dalam menurunkan filsafatnya sebagai campuran idealisme Plato (cara filsafat yang kemudian dibangkanginya) dengan filsafat realisme miliknya sendiri kepada Aleksander.

Di sini benang merahnya -sebaiknya para saintis segera menyingkir dari wilayah ini- bahwa di dalam DNA moyang Melayu sudah terbenamkan dua tonggak filsafat terbesar dalam sejarah: idealisme Plato junto Sokrates plus realisme Aristoteles. Lagi-lagi paradoks, sebab Aristoteles sendiri adalah seorang yang ilmiah sekaligus nabi pertama kaum saintis yang memusuhi mitologi sejak pertama.

Kembali ke empat ide dasar sejarah umat manusia: mitos, sastra, filsafat, dan ilmu. Stephen Palmquist membuat penjelasan bahwa hidup dengan bermitos adalah seperti tinggal di suatu lingkaran tanpa mengetahui hal-hal tentang keberadaan lingkaran itu sendiri. Ini karena pemikiran mitologis itu bebal perihal tapal batasnya.

Para pujangga menarik diri dari lingkaran mitos secukupnya sehingga mengakui eksistensi tapal batas itu. Sastra merupakan upaya untuk melisankan makna mitos dengan cara sedemikian rupa sehingga maknanya bisa dipahami oleh orang-orang yang sepenuhnya bertahan di luar tapal batas. Karenanya pujangga tinggal di tapal batas itu.

Sebaliknya, para filsuf melangkah sepenuhnya di balik tapal batas. Akan tetapi, mereka masih cukup dekat dengan lingkaran mitos sehingga mereka mengakui realitas dan signifikansi makna tersembunyi yang terkandung di dalam ekspresi puitis mitos.

Sementara para ilmuwan berposisi sebegitu jauh dari mitos sehingga, jika mereka memandang lingkaran mitos sepenuhnya, mitos itu hanya tampak sebagai satu titik di kejauhan tanpa isi yang maknawi.

Impian zaman keemasan di Yunani Kuno mengacu pada kebudayaan Minos-Misena, yang pudar pada masa Perang Troya (kira-kira 1200 SM). Zaman itu merupakan inspirasi untuk perekaan mitos-mitos Yunani. Perkembangan yang paling signifikan berikutnya dalam sejarah Yunani adalah penciptaan epos-epos Homer (kira-kira 900 S.M), yang bahan-bahannya meluncur dari kompleks mitos ini.

Demikian pula mitologi Melayu yang mengacu kepada Sulalatus Salatin, Malay Annals, Hikayat Hang Tuah, Tuhfat al Nafis, dan seterusnya adalah campuran antara mitos dan fakta sejarah. Ketika fase mitos-mitos Yunani disulam oleh Homer, mitologi sekaligus sejarah Melayu paling tidak dimulai oleh Tun Sri Lanang yang kemudian direproduksi oleh Munsyi, Raffles, dan Shellabear.


Sempena Festival Sastra Internasional Gunung Bintan 2018 (digagas Rida K Liamsi dkk), di antaranya dimegahkan dengan peluncuran buku Antologi Hang Tuah dalam Puisi*, hendaknya para sastrawan negeri serumpun (Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunai, Thailand, Myanmar, Kamboja dan Vietnam) yang terlibat di dalam penulisan puisi Hang Tuah untuk tinggal lebih lama dalam dimensi mitologis-metafisis.

Penggunaan metabahasa dari akar-akar bahasa purbawi akan menjadi demikian indah bila Hang Tuah disanjung atau didebatkan di dalam lingkaran mitosnya, ketika fakta sejarah tidak cukup kuat-atau bahkan kontraproduktif- untuk menghadirkan diksi-diksi puitis yang maha bebas. Tugas mendebat adalah tugas filsafat, tapi mengapa tidak?. ~MNT

*Kurator: Sutadji Calzoum Bachri, Rida K Liamsi, Hasan Aspahani




Comments