Superman Distonia

Ilustrasi: i.kinja-img.com

Oleh Muhammad Natsir Tahar


Belum kau dengar sampai kini, orang gila yang pada suatu pagi nan cerah menyalakan lentera, lalu memasuki pasar dan menjerit berulang-ulang, Aku mencari Tuhan! Aku mencari Tuhan!-Lantaran yang berdiri di sekitarnya pada saat itu orang-orang yang tidak mempercayai Tuhan, orang gila itu hiburan segar.

Apakah Tuhan hilang? kata salah satunya. Ataukah Ia menyembunyikan diri? Takutkah Ia kepada kita? Naik kapalkah Ia? Pindah ke negeri lainkah Ia? Demikianlah mereka bersorak tertawa-tawa.

Namun orang gila itu menusuk mereka dengan lirikannya: Ke mana gerangan Tuhan pergi.  Ia berseru; Akan kuberi tahu kalian. Kita telah membunuh Dia-kalian dan aku! Kita semua pembunuh Dia. Tapi bagaimana kita menuntaskannya?

Bagaimana kita bisa mengosongkan laut? Siapa yang memberi kita spons untuk menyapu semesta-cakrawala? Apa yang kita lakukan bila kita lepaskan bumi ini dari mataharinya? Ke mana bumi kini berjalan? Ke mana kita sendiri menuju?

Ini tadi adalah penggalan esai Friedrich Nietzsche (1844-1900) yang menuntut transvaluasi nilai terhadap cara pemikiran lapuk yang membelenggu manusia. Sebagai bapak post-modernis, Nietzsche sudah menyangka kalau upaya penerobosan moral-nya, tidak mudah dimengerti dengan cepat. Ia pun tak butuh pengakuan lekas, sebanding dengan hipotesisnya, butuh waktu 200 tahun setelah ia meninggal, barulah metafora-metaforanya dapat dipahami.

Penggalan esai Nietzsche soal Orang Gila itu adalah bagian terpisah dari tulisan ini. Cukuplah ia menjadi bahan kontemplasi bagi kita semua, apakah kita telah ikut membunuh tuhan dalam diri kita?

Nietzsche tidak bisa ditelan bulat-bulat, bila kita tidak siap dengan narasi besar yang ingin dibangunnya. Alih-alih tercerahkan, manusia malah terseret kepada agnostik dangkal yang sekonyong-konyong melompat menjadi ateis. Apalagi Nietzsche tidak tunggal, tulisannya baru diterbitkan setelah mati, ada kemungkinan ide-ide liar diselipkan ke dalamnya.

Para ahli mendeteksi adanya penyimpangan ide-ide Nietzsche sedemikian rupa sehingga Hitler mampu menggunakan gagasan-gagasan yang kelihatannya seperti ide-ide Nietzsche sebagai dukungan filosofis bagi rezim politik rasisnya sendiri.

Penggalan-penggalan Nietzsche sebagai filsuf paling menggairahkan pasca-modern ini, menghasilkan efek kejut kepada kita yang lena oleh kedataran pikiran. Pikiran menjadi seukuran selokan kecil dibanding samudera luas yang bisa ia adakan. Seolah Nietzsche, saya ingin bertanya, sudah sejauh mana kita menghina pikiran kita sendiri, dengan hanya menaruhnya di selokan sempit yang mungkin sedang tersekat, lalu membiarkan sembarang orang menuntunnya.

Di antara kesakitan yang mendera tubuhnya, Nietzsche menciptakan Superman. Ini jelas berbeda dengan manusia super pembela kepentingan Amerika, musuh Lex Luthor dengan celana dalam di luar dan terbang secepat peluru itu. Meskipun pahlawan Kripton yang ke sana kemari dengan secarik sayap merah itu diciptakan tak lama setelah kepergian Nietzsche.

Nietzsche ingin agar orang-orang bisa melampaui diri mereka sendiri dan menjadi  Übermensch (kata Jerman dari Superman). Mulanya Nietzsche membagi manusia menjadi dua bagian dalam metafora Apolonia dan Dionisius.

Apolonia menurutnya menimbulkan moralitas budak yang menyebabkan orang-orang mengadopsi mentalitas ternak. Jika dikaitkan dengan demokrasi, dalam struktur masyarakat yang mayoritas adalah Apolonia, maka demokrasi akan tersumbat. Alih-alih menjadi tuan sebagaimana ide dasar demokrasi, masyarakat Apolonia justru berada dalam moralitas budak: butuh junjungan dan membelanya sampai mati, tak hirau benar atau salah.

Ada perbedaan elementer antara budak dengan rakyat. Rakyat sebagai inti bumi demokrasi akan selalu berada dalam netralitas ruang publik dengan level pikiran yang luas tanpa belenggu. Jika pemimpin itu baik dia memberi apresiasi, jika buruk ia akan menyampaikan kritik membangun. Tidak malah denial seolah-olah suruhan demagog, yang kita lihat hari-hari ini.

Sedangkan budak, sepanjang hayatnya akan terlihat menyedihkan. Ia akan membela tuannya sampai mati dan akan memusuhi tuan yang lain sekuat-kuatnya. Pikirannya akan demikian terpenjara oleh pilihan-pilihan politiknya. Pilihan politik yang kadang ia lupa, telah diselinapkan oleh siapa.

Aristoteles dan Nietzsche bermusuhan dalam hal pikiran, tapi dalam menyikapi  Apolonia mereka harus sepakat, budak-budak Apolonia tidak pantas menerima mahkota demokrasi. Keduanya menginginkan agar Apolonia (diambil dari hegemoni dewa Apollo) diasuh oleh Aristokrasi: persoalan negara diserahkan kepada cerdik cendikia berbudi luhur.

Ironinya, Nietzsche sempat memuji Apolonia sebagai ternak yang berbudi, rasional dan kalem. Sedangkan di Indonesia hari ini dan hingga entah kapan, Apolonia adalah kerumunan rusuh dan mencaci maki di sosial media. Kita belum ada ubahnya dengan masyarakat kuno Sparta 2.500 tahun yang lalu dalam tingkat keriuhan demokrasinya.

Selanjutnya Dionisius, adalah manusia yang memiliki moralitas tuan dan bermental pahlawan, terlepas dari predikat buruk yang juga disematkan Nietzsche ke dalamnya. Dionisius memunculkan paradoks demokrasi, karena di level ini, Supermen yang terbaik di antara mereka akan menjadi aristokrat, di sisi lain masyarakat Dionisius justru yang paling layak menerima mahkota demokrasi.

Pengungkapan kehebatan spirit manusia dalam Superman dapat kita gunakan untuk membongkar habis pikiran-pikiran ombak permukaan tentang demokrasi serta keanehan-kelucuan yang menyertai terminogi-terminologi seperti elektabilitas, oposisi, parlemen, koalisi, kampanye dan seterusnya, yang mungkin akan dibahas dalam tulisan saya yang lain. ~MNT




Comments