Dari Ruang Seminar



Ilustrasi (F: helio)



Oleh Muhammad Natsir Tahar


Budayawan adalah juga seorang filosof namun mengambil spesialisasi bidang kultur dan humanisme. Ciri utamanya adalah menghindar dari nalar awam atawa common sense. Kerja – kerja budaya spektakuler macam Festival Internasional Sastra Gunung Bintan (FISGB) 2018 tidak akan pernah ada jika Budayawan sekaligus Sastrawan seperti Dato’ Rida K Liamsi tidak hadir sebagai penggagas.

Kita semua terlahir sebagai filosof sampai umur lima tahun, saat pikiran belum sekolah dan dijejali nalar awam. Ketika kita mulai menjadi manusia mekanis penghapal, disumpal rumus-rumus, teorema yang menindas dan diikat mati oleh kurikulum. Kita tumbuh menjadi manusia linier, mengambil satu minat khusus untuk kemudian kita jadikan tulang punggung kehidupan pribadi. Melewati rutinitas harian mirip roda hamster.

Dan kita mulai berhenti bertanya mengapa matahari mengikuti kita, sampai di mana ujung langit atau mengapa kita dilahirkan sebagai manusia, bukan kupu-kupu? Orangtua kita akan menghentikan setiap pertanyaan dengan jawaban: memang seperti itu mau diapakan lagi. Khas common sense.

Cobalah, bila kita sedang bermimpi menjadi kupu-kupu, kita tidak akan pernah tahu bahwa kita sebenarnya adalah manusia sampai kita terbangun. Kita adalah pikiran? Esensi mendahului eksistensi, kata Plato. Tidak juga, kaum eksistensialisme sudah membalikkannya. Ingat, filosof paling dewasa macam Immanuel Kant dan mungkin Descartes atau Hegel tidak begitu memihak. Rangkum saja keduanya.

Jika Socrates hidup di zaman ini, dan melihat anak-anak SD sedang mengikat tali sepatunya -untuk puluhan tahun ke depan- pada hari pertama masuk sekolah, dia akan berkelakar: cie, filosof gagal! Socrates memang kurang kerjaan, terlalu nyinyir. Ia begitu banyak bertanya ketika ia sudah menyimpan seluruh jawaban untuk pertanyaan itu.

Padahal di zaman itu sudah ada kaum Sofis, para intelek yang menjual sedikit ilmunya, tapi menutup kemungkinan terhadap keliaran dan keluasan pikiran filsafat. Mereka umumnya para penghapal monoton yang membatasi otaknya pada kurikulum, tapi kata-kata mereka didengar oleh warga Athena yang malas berpikir.

Malas berpikir akan menjadi satu soalan. Mengapa Athena menjadi taman bermain para filosof dan Sofis adalah karena mereka punya peluang yang besar untuk berpikir. Mereka sudah mengimpor sangat banyak budak dari Asia Kecil untuk melakukan rutinitas harian. Paradoks selalu ada dan pikiran awam dititipkan begitu saja kepada kaum Sofis, mitos dan paganisme.

Dari ruang Seminar Internasional: Peran Penyair dalam Sejarah yang berlangsung di hotel Aston, Tangjungpinang, Jumat, 30 November 2018 lalu, saya mengimprovisasi beberapa hal yang tidak tercantum dalam makalah.

Yang pertama, saya mengutip Soren Kierkegaard (1813-1855), seorang filosof eksistensial Denmark yang menyebut bahwa manusia dikutuk untuk bebas, untuk mengatakan bahwa saya bebas menggugat definisi sejarah.

Yang tidak sempat saya katakan pada seminar tersebut adalah: kebebasan yang didambakan banyak orang ternyata bukanlah anugerah, tapi justru kutukan, terutama ketika manusia sampai kepada pilihan-pilihan yang sulit dan harus menanggung risiko atas pilihan-pilihan yang salah.

Tepat, manusia bebas untuk membunuh. Tapi seorang pembunuh yang sedang dihadapkan kepada kursi listrik akan mulai mempertanyakan kutukan kebebasan itu, mengapa Tuhan tidak menegahnya, atau menghapus opsi membunuh dari muka bumi.

Yang kedua soal Johann Wolfgang von Goethe (1749-1832) dengan kutipannya: Barang siapa tidak dapat belajar dari masa tiga ribu tahun berarti dia tidak memanfaatkan akalnya. Goethe adalah seorang filosof dan sastrawan Jerman di abad Romantisme Eropa.

Dia pernah menulis novel berjudul The Sorrows of  Young Werther. Akibat novel ini 2000-an pemuda Eropa bunuh diri melalui cara dan pakaian yang sama dengan pemuda Werther dalam novel itu. Hanya gegara putus cinta, Werther lalu menembak kepalanya sendiri.

Saya belum menemukan apakah ada kaitannya, namun fenomena novel Goethe memberi pembenaran kepada aliran filsafat eksistensialisme. Bahwa manusia harus menciptakan eksistensinya sendiri, sebelum esensinya dimunculkan. Ribuan pemuda yang bunuh diri tersebut sedang meniru esensi pemuda Werther yang diciptakan oleh Goethe.

Jean Paul Sartre (1905-1980) mengklaim, salah satu konsep sentral eksistensialisme yakni eksistensi mendahului esensi. Yang berarti pertimbangan terpenting bagi seorang individual bahwa mereka adalah entitas yang bersikap, bertindak secara independen, dan sadar (eksistensi) bukan atas label, peran, stereotipe, definisi, atau kategori lainnya (esensi). Manusia memiliki kehendak bebas, yang tidak dikendalikan oleh esensi yang datang dari luar.

Terakhir adalah soal mitos yang ditolak mentah-mentah oleh kaum saintis. Mereka tidak bisa begitu saja membuang mitos ke dalam tong sampah peradaban, karena hampir seluruh keseharian mereka dirangkumi oleh mitos-mitos mulai dari sistem mata uang, konsep negara, logo-logo, bendera, demokrasi, nasionalisme, toga, pesta-pesta ekstravaganza, nomor-nomor cantik, nama-nama bulan dalam kalender, nama-nama pesawat penjelajah, bahkan nama-nama mereka sendiri. ~MNT






Comments