Para Pendaki Tuhan



Ilustrasi: www.thoughtco.com


Oleh Muhammad Natsir Tahar

Dari sebuah lembah Zamzam yang disinggahi kafilah nomadik, Mekah berubah menjadi pusat kapitalisme klasik dan berada dalam periode yang paling menggelisahkan. Di situlah Islam lahir, ketika bangsa Arabia sedang mengalami dislokasi kultural yang cukup parah, seiring erosi tradisi-tradisi mereka sendiri.

Karen Amstrong dalam History of God menyebut, Nabi Muhammad adalah seorang genius luar biasa. Tatkala wafat pada 632 M, beliau telah berhasil menyatukan hampir semua Arab dan membuka kunci bagi kekuatan spiritual yang besar, dan dalam waktu 100 tahun telah lahir sebuah imperium Islam yang membentang luas dari Himalaya hingga Pirenia. Islam di bawah Muhammad, tidak berperang kecuali atas wahyu untuk pembelaan diri.

Sebelum itu, selain paganisme, Gua Hira tempat wahyu Allah pertama tiba, dikelilingi kolektivitas Yahudi dari Yatsrib hingga utara Mekah, Zorostarian Persia dan Kristen Nestorian di Byzantium, selain entitas yang menepis monoteisme Yahudi dan Kristen, untuk langsung mencari akar ketuhanan Ibrahim.

Pasca Islam, umat manusia memasuki fase pendakian Tuhan, setidaknya yang paling dibicarakan dalam sejarah monoteisme. Pembahasan tentang status Yesus sebagai Sang Firman, telah sangat menyibukkan orang Kristen. Di masa-masa awal Islam, kaum Muslim pun mulai memperdebatkan sifat Al Quran: apakah sebagai makhluk atau bukan.

Sekte Syiah lahir dan mengembangkan gagasan yang lebih dekat dengan Inkarnasi Kristen dengan mengkultuskan Ali ibn Abi Thalib. Di samping dengan keras melakukan kritikan terhadap Dinasti Umayah yang dipandang elitis dan bermewah-mewah. Sikap oposisi ini juga sejalan dengan kelompok lainnya yang disebut Mu’tazilah, yakni mereka yang berusaha melakukan pendakian Tuhan dengan kekuatan akal.

Islam adalah agama yang paling memiliki dinamika progresif, dimulai abad kesembilan, ketika mulai bersentuhan dengan sains dan filsafat Yunani. Islam menjadi satu-satunya agama yang paling maju di dunia dalam sejarah pikiran, kultural dan sains. Di masa Barat masih diselimuti kemuraman periode Gothik, para ahli sains dan filyasuf (filosof Muslim) telah menyita perhatian dunia.

Para filosof tersebut telah sekaligus mengembangkan studi kognitif empiris bagi pengetahuan dan metafisika Aristoteles untuk menerapkan prinsip-prinsipnya ke dalam Islam. Yahudi dan Kristen sudah memulainya pada periode Helenisme, namun sensor ketat terhadap bid’ah akal dan rasionalisme untuk masuk ke dalam dogma biblikal, telah memadamkan sains dan filsafat di Romawi dan Eropa pada umumnya.

Filsafat telah ikut memberi cara pandang baru terhadap teologi Islam. Ibnu Sina (Avicenna) -seorang filosof Syiah- misalnya lebih tertarik pada Neoplatonisme falsafah, dibanding Ibnu Rusyd (Averros) yang lebih Aristotelian. Menurut Ibnu Sina, Nabi Muhammad lebih tinggi derajatnya dari Filosof manapun karena dia tidak tergantung kepada akal manusia (yang ditajamkan dalam filsafat Aristoteles), namun memperoleh pengetahuan langsung dan intituitif dari Allah (cara pandang Plato).

Lain halnya dengan Al Ghazali (Al Ghazel), seorang filosof yang kemudian beralih menjadi mistikus Sufi. Dia mungkin berpendapat, cara pandang filosofis membuat Tuhan sebagai penggerak awal kosmos tampak jauh, dan berdiam diri di atas keagungan-Nya sambil membiarkan manusia berada dalam kehendak bebas. Tanpa mengabaikan akal, Ghazali beralih ke wilayah Sufisme dan dengan cara ini dia mengalami Tuhan dengan sangat dekat.

Seperti Ibnu Sina, Al Ghazali mempertimbangkan kembali kepercayaan kuno Platonik mengenai alam ideal yang berada di atas dunia material. Dunia baginya hanyalah replika inferior dari alam al Malakut – sebagai alam spiritual yang juga dibicarakan dalam Yahudi dan Kristen.

Dalam tulisan singkat ini, saya ingin langsung menyimpulkan bahwa –setidaknya- ada tiga cara pendakian Tuhan bagi pemeluk Monoteisme, yakni memandang Tuhan dengan cara literal dan legalistik oleh para pemuka agama, memandang Tuhan sebagai Yang Maha Agung dan transenden yang berdiam di kejauhan oleh para filosof klasik, dan mengalami Tuhan yang dekat dan menyatu dalam diri manusia oleh para mistikus.

Konflik dan penajaman selisih antarasekte dan antaragama umumnya terjadi di tingkatan literal dan legalistik, mereda di tataran filsafat, bahkan kemudian mensintesa dalam cara pandang mistikus. Teolog Katolik dan Filsuf Skolastik, Thomas Aquinas (1225-1274) misalnya tetap memandang kagum dan mengambil banyak pelajaran dari filosof Muslim khususnya penjelasan Ibnu Rusyd atas Aristoteles.

Mistisisme  sebagai kenderaan utama menuju pengalaman religius lebih mementingkan bagaimana manusia menuju Tuhannya ketimbang tata cara penyembahan-Nya. Sufisme atau Tasawuf dalam Islam juga diidentikkan dengan Taoisme di Tiongkok dan ajaran Yoga di India.

Jalaluddin Rumi (1207-1273) yang sangat longgar kritiknya terhadap inkarnasi Isa, adalah pendiri tarekat Sufi Maulawiyah, yang anggota-anggotanya dikenal sebagai darwis-darwis yang berputar (whirling devishes), mereka menari dalam ambang peniadaan diri (fana’).

Demikian pula mistikus Kristen Dante Alighiere dari Florence, dalam syair The Divine Comedy, berkisah tentang perjalanan imajiner melewati neraka, Purgatoria, dan surga hingga penampakan Tuhan. Ini adaptasi terhadap perjalanan spiritual Muhammad dalam peristiwa Isra Mi’raj sebagaimana yang ditulis Ibnu Al Arabi. Al Arabi sendiri adalah filosof metafisika Muslim yang juga beralih menjadi sufi seperti Al Ghazali dalam aliran yang berbeda.

Kisah-kisah pendakian Tuhan di abad modern pula, memunculkan suatu paham yang keluar dari jalur yakni ateisme. Di antara mereka berpendapat, saat ini tidak ada tempat bagi Tuhan di permukaan kosmos setelah terjadi fenomena Big Bang (dentuman besar) muasal terjadi semesta raya. Pierre-Simon de Laplace misalnya, telah mengusir tuhan dari fisika.

Para filosof seperti Descartes begitu percaya Tuhan bisa ditemukan dengan kekuatan akal. Fisikawan Isaac Newton mendaki Tuhannya dengan cara mekanika dan meletakkannya di atas konsep Trinitas, Voltaire menjamah Tuhan dengan cara hukum dan kemudian gagal (ateisme), lalu mengecam doktrin-doktrin tentang Tuhan yang bertentangan dengan standar suci akal. Kemudian Immanuel Kant mencoba menerjemahkan doktrin-doktrin Tuhan dengan sudut pandang etika moral dan mengadopsi sedikit cara pandang Al Ghazali.

Kisah-kisah tentang pergolakan pikiran terlihat anggun dan mengagumkan. Kisah-kisah tentang fanatisme dangkal, mitos-mitos keagungan tribalisme dan kegelapan pikiran telah menyumbangkan huru-hara. ~MNT









Comments