Sastra Sejarah dalam Sejarah Sastra

Ilustrasi: archaeology.wiki


Makalah Seminar Internasional:
Peran Penyair dalam Sejarah
Aston Hotel Tanjungpinang
30 November 2018

Oleh Muhammad Natsir Tahar

Sebuah Paradoks

Makalah ini ditulis dengan padat dan cepat untuk menyiasati ruang dan waktu yang terlihat sempit. Saya memiliki semacam kecenderungan holistik untuk sedapatnya memetakan semua dimensi yang relevan ke dalam hampir semua tulisan. Berpura-pura menjadi seorang generalis untuk menutupi bahwa saya tak punya minat khusus terhadap disiplin ilmu apapun, kecuali belakangan ini: filsafat.

Ini juga adalah refleksi kegelisahan saya terhadap tabiat kolektif superfisial kita yang merasa selalu selesai dengan satu dua minat khusus. Hari ini kita bicara sejarah, jika kebetulan kita tidak punya minat khusus di bidang ini, apakah kita juga tidak tertarik untuk memadatkan keseluruhan. Atau -seperti biasa- mengambil sepotong kecil mozaik kuno terdekat, untuk kita umumkan bahwa itulah sejarah leluhur kita.

Johann Wolfgang von Goethe seperti mengomel, "Barang siapa tidak dapat belajar dari masa tiga ribu tahun berarti dia tidak memanfaatkan akalnya". Tokoh terpenting dalam dunia sastra Jerman dari zaman Romantisme Eropa ini merasa bahwa manusia baru punya akal ketika mengambil rentang waktu 30 abad. Terdengar agak kejam dan menyusahkan, meski sebenarnya secara egois ia ingin menyeret kita agar memulai titik nol kilometer pengembaraan sejarah manusia pada saat dimulainya filsafat. Mungkin ketika Thales sedang mulai mengukur bayangannya sendiri, untuk mengukur tinggi sebuah piramida Fir’aun atau menebak gerhana matahari.

Goethe tidak holistik, karena mestinya sejarah harus dimulai dari silsilah hominid yang berujung kepada manusia modern anatomis bernama Homo Sapiens yang muncul di benua Afrika sekitar 200.000 tahun lalu. Atau tak ingin berpenat-penat, langsung saja meminjam teori sudden creation penciptaan Adam dan Hawa, sebagai bonus keimanan. Yang jelas itu jauh lebih lebar dibanding hanya tiga ribu tahun, dan tentu saja lebih menantang.

Kita tidak mesti meninggalkan kesadaran penuh bahwa kita sebagai manusia adalah rantai konstalasi kosmos yang tidak pernah terputus. Manusia tidak tiba-tiba muncul dari gua bagai teori Generatio Spontania-nya Aristoteles yang baru patah setelah 2.000 tahun. Lewat Biogenesis Louis Pasteur manusia baru tersadarkan bahwa dirinya secara terus menerus dilahirkan oleh organisme hidup yang makin menyempit menuju periode awal.

Seperti kita, sejarah sendiri sedang kebingungan mencari jati dirinya. Ia hadir ke tengah-tengah kita tanpa pijakan yang kukuh. Kadang-kadang sejarah hanya mirip kedipan bintang dari rasi Andromeda yang dikirim sejuta tahun lalu, tanpa membawa kabar apapun tentang ujud bintang itu. Sejarah di lain waktu adalah  percikan partikel, puing-puing yang tak pernah utuh dan tidak terverifikasi apakah otentik atau bukan.

Jika ada sejarah yang seolah-olah utuh, tugas berikutnya adalah memeriksa siapa penulisnya, mulai dari metodologi, objektifitas, keluguan empirik, orientasi dan pengaruh ilusi optik serta kecenderungan estetiknya: apakah imajinasinya sedang diaktifkan atau tidak.

Untuk membedah sejarah, sebaiknya seluruh kepingan dijahit dahulu, bukan malah kepingan yang satu secara menyedihkan diadu dengan kepingan yang lain. Karena historian level dewa sekalipun tak kan pernah mampu menghadirkan sejarah tepat otentik dengan fakta masa lalu. Belum lagi jika kita berhadapan dengan buzzer penebar hoaks dari zaman perunggu sampai zaman satelit yang kemudian dipungut sebagai sumber sejarah.

Saya tidak sependapat jika sejarah tetap dipaksakan sebagai salah satu disiplin ilmu atau sains akademik, kecuali ia ingin sendirian, kerdil dan kebingungan. Untuk dapat disebut ilmu paling tidak sejarah harus melewati uji ganda yakni empirik dan logis, serta harus dapat dijelaskan secara ontologi, epistemologi, dan aksiologi.

Para pengkritik melihat sejarah sebagai sesuatu yang tidak ilmiah karena tidak memenuhi faktor-faktor keilmuan, terutama faktor dapat dilihat atau dicoba kembali. Artinya sejarah hanya dipandang sebagai pengetahuan (knowledge) belaka, bukan sebagai ilmu.

Immanuel Kant yang disebut-sebut sebagai filosof modern paling dewasa sekaligus Bapak Sosiologi -bandingkan dengan Nietzsche yang kemudian gila setelah membapaki postmodernisme- bahkan mengejek sejarah sebagai penata batu bata dari fakta-fakta sosiologis.

Tepat sekali, sejarah hanyalah kepingan kecil bata, bila kita ingin melihat masa lalu semegah jembatan Golden Gate, Borobudur, Taj Mahal, atau Burj Khalifa. Pada akhirnya sejarah adalah paradoks. Ia membawa sifat yang lembik dan kerdil karena beratnya tugas ilmu serta secara bersamaan ia ingin dilihat seperti raksasa.

Bangsa-bangsa punya sifat untuk menggelorakan masa lalu dengan cara membangkitkan paksa raksasa tidur sejarah, seringkih apapun ujud aslinya. Tidak terverifikasi bukan berarti tidak benar, namun cara kerja pedagogi sejarah harus dilepaskan jika hanya akan menghambat tugasnya sebagai metafora glorifikasi.

Glorifikasi versus Sains Sejarah

Ketika inspirator saya, Dato’ Rida K Liamsi menyodorkan tema seminar ini: Sumbangan Sastra pada Sejarah, saya menganggapnya sebagai jebakan filosofis, mengenang beliau seorang tokoh sastrawan sekaligus budayawan yang punya samuderanya sendiri.

Sastra dan sejarah terlihat seperti dua sisi koin. Apakah sastra menyumbang kepada sejarah, sebaliknya atau saling. Dalam Klasika, sastra dan sejarah dihimpun bersama-sama dengan filsafat, seni, dan arkeologi sebagai bagian dari studi utama Humaniora.

Maka sejarah dan sastra sebahu dalam peradaban manusia. Mereka bahkan saling mengutangi. Sejarah sebagai mitologis -agar ia lebih leluasa mengungkapkan dirinya- membutuhkan sastra lebih dari teman seiringan. Hanya sastra lah yang ingin melihat sejarah tumbuh besar, untuk melengkapi kepingan fakta yang sangat terbatas dengan kelimpahan mitos sehingga ia menjadi bangunan istana yang megah.

Sebaliknya, jika sejarah tidak ingin mengalah untuk mengorbankan orisinalitasnya, sastra akan segera kelelahan di bait pertama. Sastra akan memetik mitos-mitos untuk membangun metabahasa, dan mendaki puncak estetikanya. Keduanya menjalin simbiosa mutualis ketika sejarah menjadi labil, hilir mudik antara logika, lagenda dan mitos. Ini demi tugas mulia para penulis (sastra) sejarah kuno untuk mengagungkan leluhurnya dengan majas-majas hiperbola hingga melahirkan sejarah virtual atau sejarah kontra-faktual.

Meminjam Stephen Palmquist tentang empat ide dasar sejarah umat manusia yakni mitos, sastra, filsafat, dan ilmu. Masih tersisa dua hal yakni filsafat dan ilmu. Filsafat dengan sifat dasar holistik dan kecenderungan metafisisnya tidak ingin lekas-lekas membuang mitos ke dalam tong sampah peradaban, tapi menjaga kemungkinan masih ada yang bisa digali darinya.

Sedangkan ilmu atau fisika sosial sejarah, telah lama mengasingkan diri sejauh-jauhnya dari mitos bahkan logos sejak dimulainya revolusi kognitif. Semisal, ketika menulis Sejarah Alam pada ujung abad ke-16, Francis Bacon mendefiniskan, historia atau sejarah adalah pengetahuan tentang objek yang ditentukan oleh ruang dan waktu, yang disediakan oleh ingatan, sementara ilmu disediakan oleh akal, dan puisi disediakan oleh fantasi.

Impian zaman keemasan di Yunani Kuno mengacu pada kebudayaan Minos-Misena, yang pudar pada masa Perang Troya (kira-kira 1200 SM). Zaman itu merupakan inspirasi untuk perekaan mitos-mitos Yunani. Perkembangan yang paling signifikan berikutnya dalam sejarah Yunani adalah penciptaan epos-epos Homeros dan Hesiod ( 700 SM), yang bahan-bahannya meluncur dari kompleks mitos ini.

Sejarah tertulis Cina dimulai sejak Dinasti Shang (1750 SM - 1045 SM). Cangkang kura-kura dengan tulisan Cina kuno yang berasal dari Dinasti Shang memiliki penanggalan radiokarbon hingga 1500 SM. Budaya, sastra, dan filsafat Cina berkembang pada zaman Dinasti Zhou (1045 SM hingga 256 SM) kemudian dilanjutkan oleh Dinasti Shang. Dinasti ini merupakan imperium yang paling lama berkuasa dan pada zaman dinasti inilah tulisan Cina modern mulai berkembang.

Sementara Hikayat Melayu yang mengacu kepada Sulalatus Salatin, Malay Annals, Hikayat Hang Tuah, Tuhfat al Nafis, dan seterusnya adalah campuran antara mitos dan fakta sejarah. Ketika fase mitos-mitos Yunani disulam oleh Homer, mitologi sekaligus sejarah Melayu paling tidak dimulai oleh Tun Sri Lanang yang kemudian direproduksi oleh Munsyi, Raffles, dan Shellabear.

Rancangan Sulalatus Salatin menjadi satu-satunya peninggalan sastra sekaligus sejarah yang dapat selamat  dari spekulasi tenggelamnya perahu haloba Portugis yang syarat muatan, sehingga buku-buku dari Istana Melaka ikut terkubur di dasar laut (lihat: Prolog Sulalatus Salatin – A. Ahmad Samad, Kuala Lumpur, 1978).

Tun Sri Lanang atau Tun Muhammad telah melahirkan versi sulung Sulalatus Salatin sebelum kemudian dibuat sedikitnya 29 versi tulis tangan yang kemudian tersebar ke sejumlah negara, Inggris (10 di London, 1 di Manchester), Belanda (11 di Leiden, 1 di Amsterdam), Indonesia (5 di Jakarta), dan 1 di Rusia (Leningrad).

Menurut Winstedt, kitab Sulalatus Salatin mulai dikarang bulan Februari 1614 dan selesai Januari 1615, sewaktu menjadi tamu di kawasan Pasai. Itu artinya Eropa sedang berada di puncak renaisans. Bahkan telah didahului oleh seniman dunia macam Desiderius Erasmus (1466-1536), Leonardo da Vinci (1452-1519), Michaelangelo (1475-1564).

Eropa juga menjadi lokus para penulis sastra kelas dunia. Sastra di Eropa telah dimulai sejak 880 SM, kemudian berlanjut dengan Sastra Latin, sastra abad pertengahan, sastra renaisans serta dimulainya sastra modern pada tahun 1800 Masehi.

Pemuncak sastra klasik dalam bidang drama misalnya, diwakili oleh Sophocles lewat Oedipus Rex and Antigone. Sastra Latin mempersembahkan The Aeneid oleh goresan emas Virgil, lalu Wiliam Shakespeare menyeruak pada awal abad pertengahan melalui keagungan Hamlet. Sastra Renaisans merayakan zaman keemasan mereka dalam kegurihan Dr. Fraus oleh Marlowe, sedangkan pengabdi sastra modern berdecak kagum pada Pygmalion garapan Bernard Shaw.  Yang mereka-mereka ini telah pula didahului Abu Nawas (756 - 814), Jalaluddin Rumi (1207-1273), dan  Umar Khayyām  (1048 – 1131). Sebagaimana juga sejarah mencatat ilmuan Muslim adalah batu api pembangkit Eropa.
Akibat cengkaman feodalisme dan kolonialisme Eropa, Semenanjung Melayu tidak melahirkan sastrawan yang dapat dicatat oleh dunia, selain mungkin Tun Sri Lanang di masa itu. Secara universal, posisi Semenanjung Melayu dan Nusantara umumnya yang menjadi persilangan antara Timur dan Barat memiliki kesempatan yang besar untuk mencerap renaisans dengan kegemilangan filsafat analitik Barat junto Islam serta sekaligus kearifan filsafat sintetik Timur.

Alam Melayu tidak mendapat percikan renaisans meski sebenarnya ia dapat berlaku universal secara humanisme renaisans sendiri adalah penciptaan manusia universal. Bila kita ingin menggugat renaisans sebagai kebangkitan kembali, apa yang bangkit dari Eropa selain Yunani? Mereka mengaku-aku begitu saja sebagai bagian dari kehebatan silam Yunani terutama Athena, yang memang lemah mempertahankan kekentalan darah filosofnya. Dengan kata lain, renaisans bukan eksklusivisme  Eropa, ledakan pemikiran juga bisa terjadi di alam Melayu di masa yang sama, tapi itu tidak terjadi sebagai sisi gelap feodalisme.

Feodalisme di Eropa sebenarnya juga menghambat gelegak magma renaisans. Negara-negara besar Eropa seperti Perancis dan Spanyol adalah monarki absolut, dan lain-lain berada di bawah kontrol langsung Gereja. Republik-republik kota mandiri Italia utamanya Florence lah yang mengambil alih prinsip-prinsip kapitalisme dan memicu revolusi komersial. Hal yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk kemudian mendahului dan membiayai renaisans.

Metodologi penulisan Sulalatus Salatin pun cukup mencemaskan, ditulis tangan dengan mengambil masa sangat lama hanya untuk satu buku. Belum kemudian dihadapkan oleh para penulis ulang yang mengancam orisinalitasnya. Teknologi dan kegempaan pikiran tidak menyentuh benua Melayu yang tengah mabuk feodalisme, padahal 164 tahun sebelum itu tepatnya 1450 M, Johann Gutenberg sudah mengumumkan mesin cetaknya.

Harus disadari bahwa Sulalatus Salatin lahir dari hegemoni feodalis, meski Tun Sri Lanang sendiri adalah bagian dari orang dalam istana. Ia ingin menyenang-nyenangkan hati sultan dengan narasi-narasi epik terhadap penguasaan ruang dan pemujaan kultus yang berlebihan. Sayangnya kita tidak menemukan teks pembanding selain narasi tunggal yang tampaknya diimani sebagai kitab suci demi glorifikasi, sekaligus legitimasi sejarah monarki di pihak lain.

Tugas Sastra Milenial

Kosmos adalah keteraturan dalam sebuah sistem semesta, bermula dari titik nol hingga kembali menjadi nol. Ia adalah struktur berskala besar, sehingga Melayu harus dipahami secara holistik dan serentak bukan parsial dan uji petik. Agar generasi Melayu ke depan dapat menjadi Ratu Adil bagi sejarahnya sendiri.

Melayu bukan hanya kilau emas, tahta ratna mutu manikam trah Sang Nila Utama. Melayu bukan sebatas lipatan – lipatan tanjak yang memanjakan mata, bukan tenun kebaya Labuh, bukan songket berpernik, keris Taming Sari dan silat Hang Tuah, bukan Zapin menghentak, bukan cuma Makyong dramatik atau Gurindam 12 yang sakral bagai kitab suci.

Tapi Melayu bisa juga tentang segala primitif dan aboriginal-nya klan Austronesia yang berkayuh melintasi samudera, sampai ke Kepulauan Melayu, menabur benih dan melahirkan kita sekarang. Melayu adalah juga tentang Proto dan Deutro gilir bergilir, memancangkan hidupnya di tanah ini. Mereka datuk moyang kita. Jika keris dan Jembia adalah Melayu, maka Kapak Batu dan Flakes juga Melayu.

Melayu bukan sebatas keanggunan Lingua Franca yang diangkat menjadi bahasa pengantar untuk menyeberangi Nusantara, tapi ia adalah sebuah konstalasi dari rumpun bahasa Austronesia yang mencakup Formosa, Mikronesia, Melanesia, Polinesia hingga Madagaskar. Melayu bukan pula tentang Lancang Kuning Berlayar Malam tapi juga tentang kolek kuno sezaman bahtera Nuh.

Tugas sastra milenial adalah meregangkan pita kosmos pengembaraannya dari ujung ke ujung sehingga tak ada lagi yang tersisa untuk dibicarakan. Bukan lena sendiri dengan puisi-puisi egosentris ranjang pribadi yang sempit sedepa atau kegayutan yang sangat kuat kepada radius kampung halaman. Diksi-diksi bahari yang selama ini mengambil ruang sempit primordialisme teritorial, agaknya perlu menampilkan dirinya dalam ruang dan waktu sejarah dalam medium semesta.

Tugas lain dari kerja sastra milenial tidak hanya pengabdian penuh kepada estetika metabahasa, namun juga tidak menanggalkan tugas suci sebagai pembawa pesan etika moral. Sastra dan puisi sebagai kendaraan makna dan aksioma tidak melulu mencitrakan dirinya, namun juga tanggung jawabnya sebagai aksara sosial.

Sebagai teraju, Kuntowijoyo telah menggagas Sosiologi ProfetikPertama, sosiologi profetik memiliki tiga nilai penting sebagai landasannya yaitu humanisasi, liberasi dan transendensi. Ketiga nilai ini di samping berfungsi kritik juga akan memberi arah, bidang atau lapangan penelitian. Kedua, secara epistemologis, sosiologi profetik berpendirian bahwa sumber pengetahuan itu ada tiga, yaitu realitas empiris, rasio dan wahyu. Ini bertentangan dengan positivisme Auguste Comte yang memandang wahyu sebagai bagian dari mitos.

Sosiologi Profetik dipahami dan didudukkan dalam konteks ilmu sosial yang memiliki tanggung jawab profetik untuk membebaskan manusia dari kekejaman kemiskinan, pemerasan kelimpahan, dominasi struktur yang menindas dan hegemoni kesadaran palsu. Dengan demikian kita tidak hanya membaca dan menulis ulang masa lalu kemudian memaafkannya, namun juga ikut memberi pelurusan agar generasi setelah kita memiliki kesadaran kosmik dan keunggulan yang setara kemajuan zaman. ~MNT



Comments