Anomali Batam

Ilsutrasi: holdfolio.com



Oleh Muhammad Natsir Tahar

Sejak lahir Batam sudah membawa cacat bawaan. Apalagi bila dibandingkan dengan saudara kembarnya Singapura. Saya mencoba merangkum serangkaian anomali yang menjangkiti seluruh tubuh sejarahnya. Alih-alih berakhir lewat penghapusan dualisme dengan munculnya istilah ex officio (terjemahan Latin: keluar dari kantor)anomali Batam makin menjadi-jadi.

Pertama, Batam dan Singapura dahulu kala sesama pulau sunyi. Tapi Batam dilewatkan Sang Nila Utama sebagai penemu dan penama Singapura, ditepis oleh Raffles dan diacuhkan Daendels. Herman W Daendels Sang Belanda bermental kontinental, Batam dan Singapura serupa bijih emas, tapi siapa yang menyepuh emas itu? Dia adalah Thomas Stamford Rafless, Sang Gubernur Jenderal dari Britania Raya, negara maritim utama dunia.

Mirip Sang Nila Utama, Letnan Jenderal Soeharto pun melihat Singapura dari dataran tinggi. Di Tanjung Pinggir era konfrontasi, teropong keramatnya menumbuk gedung-gedung pencakar langit Singapura. 

Sejak itu Batam diemaskan karena ketahuan bertetangga dekat dengan kota penting dunia. Jenderal - jenderal turun gunung. Sayangnya, DNA Daendels tak hilang-hilang, yang dilihat dari Batam adalah daratannya, yang tidak lebih dari 1 % dari seluruh laut Kepulauan Riau.
Belanda selalu berpikir agraris plus merkantilis, tidak memandang bagaimana besar nilai strategis maritim Singapura kala itu. Lalu membiarkan Raffles memanipulasi Sultan Singapura Tengku Husein, untuk membangun pelabuhan besar. 

Lewat Traktat London 1824, Singapura ditukar dengan Bengkulu, yang kebetulan cocok dengan selera Daendels. Belanda tak juga membuka mata ketika Pulau Sambu (salah satu pulau yang terdekat dengan Singapura) dibangun menjadi pangkalan minyak mereka, Royal Dutch Shell pada 1920-an. Sambu tetaplah semata oil basekemudian berganti jadi Pertamina Pulau Sambu, yang kini terlihat makin murung.

Dengan sedikit copy paste dari kolonial, Batam melewati era babat alas dengan ditetapkannya wilayah ini sebagai Daerah Industri Pulau Batam melalui Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973, dengan sistem Continental-Asian, sedangkan Singapura waktu itu menggunakan pendekatan Anglo-American yang sesuai untuk negara maritim.

Jika ingin serupa Singapura mestinya Batam di hari - hari awal sudah memikirkan bagaimana membangun pelabuhan berkelas internasional yang sama levelnya.
Sampai hari ini tidak ada pelabuhan peti kemas bonafide milik Batam. Padahal bagaimana Singapura bisa direbut Raffles lalu mendunia, adalah berkat pelabuhannya.

Bisikan hantu Daendels demikian kuat mempengaruhi cara berpikir para teknokrat pembangun Batam. Maka yang terjadi adalah politik tanah dengan cara memunggungi lautan emas. Hanya namanya saja Batam sebagai etalase utama dan gerbang Indonesia, tapi peran yang dimainkan hanyalah hamparan halaman belakang bagi Singapura.
Industrialisasi dan politik tanah yang dikombinasikan dengan mindsetkontinental sebagai penyediaan lapangan industri, melahirkan Teori Balon Habibie.

Inilah dasar utama upaya penyambungan gugus kepulauan Barelang dengan enam jembatan yang kemudian vakum. Batam ibarat memilih mundur ke selatan untuk memperluas halaman belakangnya.  

Bila saja pembangunan jembatan Barelang dialihkan untuk mendirikan pelabuhan - pelabuhan kelas dunia yang langsung bersemuka dengan peradaban ekonomi internasional, maka Batam tak perlu ditelikung oleh muridnya Port of Shenzhen, China dan tetangga dekat Johor Port Pasir Gudang, Malaysia (juga terkait dengan politik internasional neo merkantilis Singapura yang menekan Batam karena dianggap kompetitor).

Kedua, munculnya Orde Reformasi menyebabkan Batam dipandang sebagai legasi Orde Baru yang kemudian diutak-atik oleh para ekonom pragmatis-ahistoris sesudahnya.
Keistimewaan Batam yang secara de facto sebagai Free Trade Zone (FTZ) penuh lenyap, kemudian digantikan dengan FTZ Enclave(Kantong) serupa Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) sekarang, menyusul besarnya temuan potential lost dari PPN, PPnBM dan Bea Masuk yang ikut dinikmati warga Batam non faktor produksi (bukan tenaga kerja yang diserap dalam kawasan FTZ). 

Pada awal tahun 2000, Batam sempat bergejolak menolak penerapan PPN, PPnBM dan Bea Masuk yang dianggap menyebabkan turbulensi ekonomi akibat bergesernya titik keseimbangan (equilibrium) antara upah dan kenaikan harga.

Anomali berbuah anomali. Batam tergeletak dan tak mampu mempertahankan keistimewaannya. Ada lubang menganga yang menjadi celah bagi Pusat. Sejak awal, bila memang Batam ingin ditetapkan sebagai FTZ penuh, mestinya seluruh imigran yang mendiami Batam masuk melalui saringan skilled labor on demand sebagai faktor produksi FTZ. 

Tapi tidak, Batam justru berkembang sebagai pusat aglomerasi bebas hambatan sekaligus menjadi antitesa investasi. Setiap meter tanah yang awalnya diperuntukkan sebagai lahan investasi, menjadi ladang properti remeh temeh untuk memenuhi desakan populasi penduduk yang tumbuh bagai deret ukur. 

Ketiga, tipe hunian yang ideal untuk kawasan industri adalah rumah vertikal dan dormitori, demi mengantisipasi penyempitan lahan industrial dan komersial, tapi justru Otorita Batam (OB) kini Badan Pengusahaan (BP) Batam secara aneh mengobral lahan yang terbatas untuk hunian serta memberi kemudahan perubahan peruntukan sektor lain kepada developer bahkan dengan mengorbankan hutan lindung dan fasilitas umum.
Investor berulang kali menanyakan, apakah masih ada lahan investasi, tapi dengan mudah dikatakan tidak ada lagi alokasi, atau silakan membeli milik spekulan yang diendapkan dengan cara melawan hukum. Menjadi super ironi, lembaga yang bertugas menarik investasi sekaligus adalah penghambat utama.

OB atau BP Batam dengan segenap mafia lahan yang ada di dalam dan di sekelilingnya termasuk mereka yang pro Otonomi Daerah serta sejumlah oknum pejabat dan orang -orang tertentu (yang diberikan privelege demi suatu konsesus pragmatis), memporakporandakan Master Plan yang sudah dibangun para visioner awal. 
Investor tidak bisa masuk karena lahan industri sudah dibabat dan diserahkan kepada pengembang atau diendapkan demi spekulasi dan konspirasi. Uang Wajib Tahunan (land lease) yang diterima Negara, hanya seujung kuku dari harga yang harus dibayar investor pada berbagai cara kompetitif hingga lahan tersebut akhirnya dapat mereka sewa. 

Anomali soal tanah Batam yang paling absurd adalah: adanya objek sewa yang bisa diperjualbelikan berpadu dengan cara pandang awam yang tidak menghiraukan keanehan itu, tapi justru meributkan dua pungutan yakni UWTO dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang sama sekali berbeda definisinya (tidak untuk saling meniadakan).
Keempat, dualisme antara OB dan atau BP dengan Pemkot Batam. Penggantian istilah dari OB ke BP hanyalah lips service, yang nirsubstansi dengan melucuti sebagian kewenangan dan aset lembaga ini untuk diserahkan kepada Pemkot Batam.

Pelucutan kewenangan berlangsung seperti hukum rimba untuk mengatakan adanya kekosongan regulasi, karena Peraturan Pemerintah (PP) soal itu tidak pernah dikeluarkan selama hampir dua dekade, hingga berujung bebas tafsir dan mendegradasi daya tarik investasi.

Diksi dualisme pun terkesan asal tarik dan entah siapa yang memulainya. Dari zaman Plato sampai Descartes istilah dualisme digunakan untuk dua substansi dasar yang saling bertentangan, misal protagonis dan antagonis atau spritual dan material, bahkan Tuhan dan Iblis, sedangkan BP dan Pemkot Batam adalah sesama lembaga pemerintahan yang esensinya -bila ingin jujur- adalah kesejahteraan rakyat.

Kelima, Wali Kota Batam bertindak sebagai ex-officio Kepala BP Batam. Artinya bila ada jabatan yang dirangkap maka ada pelanggaran UU 25/2009 tentang Pelayanan Publik dan UU 23/2014 tentang Pemerintah Daerah yang melarang kepala daerah merangkap jabatan. Pertanyaannya apakah BP Batam masuk dalam kategori jabatan yang tidak bisa dirangkap?
Tapi bila merujuk kepada istilah ex-officio, maka jabatan ini bersifat temporer sampai dipilihnya pejabat baru yang memenuhi skala fit and proper test  (dalam perkembangan terakhir, Darmin Nasution melantik Edy Putra Irawadi sebagai Kepala BP Batam yang baru untuk mengisi kekosongan selama masa transisi).

Payah masuk akal jika Wali Kota Batam menginginkannya hanya sebagai jabatan sementara, karena ini adalah titik akhir perjuangan menahun yang digerakkan oleh panji-panji Otonomi Daerah. Besar kemungkinan BP hanya menjadi lembaga setingkat dinas. Lalu bagaimana menjelaskan alokasi dana APBN dan sejumlah koneksitas eksklusif antara BP dengan Jakarta?

Pertanyaan lain muncul, bagaimana kemudian jika Kepala BP yang juga Wali Kota Batam ke depan dipilih melalui jalur pilkada, lalu atas anomali demokrasi yang terpilih -atas kehendak rakyat- justru figur yang gagap investasi dan canggung dengan dunia internasional.

Terakhir, adalah himpunan anomali lainnya yang menyertai Batam baik pra dan pasca peleburan. Yang menyertai pencarian titik temu antara eksistensi Pemkot Batam sebagai lembaga pelayan publik yang otonom, dengan eksistensi BP Batam sebagai lembaga pelayanan investasi yang langsung terhubung ke Pusat dan menjadi kebijakan sekaligus kepentingan nasional.

Hal-hal lainnya menjadi ikut diperhitungkan, terutama soal kecemburuan tidak hanya soal penguasaan tanah tapi melebar ke hal-hal lainnya. Dengan anggaran yang sama, masing-masing memperoleh sekitar Rp 2 triliun per tahun, Pemkot Batam terlihat kepayahan melaksanakan pelayanan publik dan tercekik defisit dipadu dengan kekurangcakapan dalam menahan kebocoran PAD (ekspos KPK: Basaria Panjaitan menyebut serapan PAD Batam hanya 5o % dari potensi), sementara BP Batam terlihat selalu mewah. 

Misalnya saja, Dinas Pariwisata Kota Batam hanya memperoleh alokasi APBD 2018 sebesar Rp 6,9 Miliar yang hanya cukup untuk gaji setahun dan paling-paling cetak brosur, sementara BP Batam melalui Batam Menari 2018 konon menghabiskan Rp 7 miliar (dengan biaya sendiri dan sponsorship) hanya dalam hitungan jam. Menggelar poya-poya ekstravaganza di pekarangan tetangga yang sedang kesulitan, sebaiknya jangan dibiasakan, kata Aquaman~ MNT










Comments