Kitab Suci dan Fiksi



Ilustrasi: amazon.com


Oleh Muhammad Natsir Tahar



Aristoteles meletakkan tuhannya di langit terjauh. Stephen Hawking kemudian mengusir tuhan itu dengan kosmologi dan mekanika kuantum. Mistikus pula, merasakan Tuhan terlalu dekat, hingga di antara mereka ada yang mengaku sebagai oknum tuhan itu sendiri.

Minephtah sang Firaun juga mengaku sebagai tuhan, tapi dengan menolak semua tuhan yang disembah sepanjang sungai Nil dan Tigris, Thebes dan di sekeliling piramida. Nietzsche ‘menyewa’ orang gila untuk menyatakan bahwa mereka telah membunuh tuhan. Para ateis pun tergelak lalu merayakan ketiadaan tuhan dengan suka ria: mereka tidak perlu membunuh tuhan dua kali untuk memastikan kematiannya.

Para ilmuan yang berangkat dari filsafat materialisme selalu tersesat kepada ketiadaan tuhan. Polanya hampir sama dengan kaum Paganisme, tuhan harus bisa dilihat lalu mereka memahat arca untuk disembah. Ilmuan ateis tidak menemukan tuhan di laboratorium ilmu, dan mereka tidak suka memahat. Maka seorang Pierre Simon de Laplace dengan tega melenyapkan tuhan dari fisika.

Peradaban manusia diselingi silih berganti antara memeluk dan menyuruh tuhan pergi. Beberapa di antara mereka mengaku sebagai tuhan untuk menguatkan cengkamannya, paling tidak sebagai titisan para dewa. Di lain waktu raja-raja menggandeng tuhan agar ia sedemikian tampak direstui.

Demikian lama Eropa tertidur di kemuraman abad pertengahan, ketika imperium dan tuhan sedemikian erat, tidak ada yang mereka lakukan selain menunggu kiamat. Tiba – tiba matahari renaisans terbit, mereka lantas terjaga. Kiamat ternyata masih lama, tuhan disuruh menepi begitu mereka tenggelam dengan kitab-kitab yang tidak lagi berbicara tentang Tuhan. Kini giliran tuhan pula yang tidur.

Rahasia ilmu pelan-pelan mulai terkuak dan melahirkan manusia-manusia renaisans nan profan. Bila mesin cetak Gutenberg menyemburkan revolusi kognitif, maka mesin uap Thomas Savery melecutkan revolusi industri. Ekspedisi Eropa pun dimulai dengan armada-armada bermesin uap.

Tuhan yang mereka sembah –atau mungkin telah mereka endapkan sejak kemarin- tak mampu mencegah pembantaian dan penghisapan di tanah jajahan. Mereka mengambil semua yang bisa diambil, lalu menukarnya dengan tuhan dan bahasa atau kadang-kadang penyakit menular. Kolonialisme yang berjabat erat dengan saudara sepupunya: kapitalisme, menyentuh langit kebiadabannya dengan genosida dan perdagangan budak.

Tuhan suku pedalaman Afrika bahkan tak mampu menahan bangsa ini untuk melakukan kedunguan tingkat super. Portugis pernah datang membawa alat pembajak sawah agar hasilnya bisa dijual tapi tidak dianggap.

Sangat bertolak belakang dengan film The Gods Must Be Crazy, yang begitu kagum dengan hanya sebuah botol yang terjatuh dari pesawat dan menganggapnya kiriman tuhan lewat burung besi raksasa yang berisik, bangsa Kongo dan Ethiopia di abad 18 tidak tertarik apapun kecuali satu: senapan.

Senapan digunakan bukan untuk berburu kijang yang bisa dipanggang sore harinya atau dijual, mereka justru memburu suku lain -yang bahkan sangat mirip- untuk dijual sebagai budak, untuk mengatakan tidak ada budak yang gratis. Dan terpenting, tidak perlu ditanam agar bisa dijual.

Kapitalisme memiliki banyak sisi baik yang dielaborasi oleh Adam Smith lewat Wealth of Nations namun kolonialisme dan perbudakan adalah sebelah sisi koin yang berwarna hitam lagi horor. Lalu Karl Marx datang berlagak mengoreksi semuanya. Ketika itu Marx sudah berhasil menghapus tuhan dari paham materialisme-historisnya. Ia seperti dibantu oleh Charles Darwin dengan sejarah evolusi dan tidak menemukan tuhan di dalam biologi: manusia datang begitu saja dari perut monyet sementara tuhan bersama Adam dan Hawa hanyalah wisatawan.

Marx menghantam Smith lewat Das Kapital, dan berupaya membelokkan sejarah peradaban dengan gagasan komunisme. Marx memusuhi tuhan dan kapitalisme yang membuat kaum pekerja atau proletar terperas sedemikian rupa. Agama kata Marx adalah candu, melahirkan manusia-manusia abad kegelapan yang membiarkan diri mereka berada dalam tekanan para tiran yang mengaku sebagai peminjam tangan tuhan.  

Sedangkan kapitalisme menciptakan feodalis berperangai buruk yang berabad-abad menginjak proletar, melakukan percepatan dengan cara perbudakan dan kolonialisme. Tapi ajaran Marx justru melahirkan umat-umat komunis yang haus darah, Lenin, Stalin, dan Pol Pot di antaranya membantai jutaan orang. Ironisnya, doktrin komunisme berakibat mengembalikan pengikutnya ke zaman kegelapan.

Sejarah peradaban menjadi seperti siklusi roda hamster. Meski dunia terus bersolek dengan kemajuan spekta, tapi pikiran manusia tidak seperti garis linier terutama kepada cara kita menyapa Tuhan. Lalu bagaimana cara kita bertuhan di abad ini, ketika kapitalisme hedonistik melahap kita detik demi detik?

Kapitalisme modern memang lebih santun, tapi soal hubungan dengan Tuhan ia makin mirip dengan komunisme. Tuhan dilarang berkeliaran kemana-mana dan dikunci di ruang penyembahan. Di ruang publik, kapitalisme-sekulerisme hanya ingin seluruh umat manusia menyembah tuhan yang sama dan hampir tanpa penolakan: uang.

Dari tadi saya menulis Tuhan dengan huruf T kecil, tapi belum sampai kepada bahasan antara kitab suci dan fiksi seperti judul tulisan ini. Anda punya ide? ~MNT





Comments