Oleh Muhammad Natsir Tahar
Jika sedang beruntung, kita dapat menebak buku apa yang
dibaca oleh para figur publik berdasarkan analisis atau teori-teori yang mereka
kemukakan. Demi tulisan ini, saya fokus menebak-nebak buku apa di balik
pembicara dalam talkshow Indonesia Lawyers Club (ILC) yang ditayangkan
salah satu stasiun televisi dalam hampir sebulan terakhir. Mudah - mudahan
hasilnya tidak mengecewakan.
Kita mulai saja dari Rocky Gerung, seorang influencer politik yang piawai menarik
filsafat dari menara gadingnya ke ruang publik. Filsafat tidak lagi rumit tapi
bisa ngepop, meski kadang-kadang
audiens memaksa-maksakan diri untuk mengerti. Apakah Rocky seorang filosof?
Bisa saja, karena untuk menjadi demikian dibutuhkan dua syarat: menguasai
sejarah filsafat atau mencetuskan filsafatnya sendiri.
Rocky adalah orang yang pertama, dia menguasai sejarah
filsafat. Saya tidak melihat Rocky memunculkan jenis filsafat baru. Namun
senjata yang ia gunakan untuk memblokade pikiran lawan bicara adalah buku -buku
Logika dan Filsafat Ilmu. Dengan satu disiplin penalaran deduktif misalnya, ia
bisa membungkam pembicara lain yang gagal menghubungkan premis - premis, atau
mengutarakan premis absurd.
Rocky juga membantai dengan kejam bila ada
pencetusan-pencetusan yang keliru melalui Hermeneutika. Ini adalah cabang
filsafat yang mendalami intrepestasi makna. Etimologinya dari mitologi dewa
Ilmu Pengetahuan bernama Hermes yang bertugas memberi pemahaman kepada manusia
terkait pesan yang disampaikan para dewa di Olimpus.
Ia melengkapi semua sanggahannya dengan teori-teori
linguistik, filsafat bahasa, semiotika, sintaksis dan seterusnya. Yang
keseluruhannya dibungkus oleh struktur filsafat: etimologi, epistomologi, dan
aksiologi.
Dalam filsafat, penyebutan kitab suci adalah fiksi
bukanlah sesuatu yang baru. Yang menjadi baru adalah, ketika ada orang yang
berani melontarkannya di ruang publik kita. Saya coba menebak, paling tidak
Rocky pernah membaca buku Homo Deus - A
Brief History of Tomorrow yang ditulis Yuval Noah Harari, 2015 silam.
Tidak bisa berlama-lama dengan Rocky, kita beralih ke
Budiman Sudjatmiko. Dia adalah lawan tanding paling sengit Rocky dalam perang
urat syaraf politik kekinian. Rocky dengan kesombongan filsafatnya, dengan
mudah menyebut orang ini dungu. Padahal tidak demikian adanya, barangkali
Budiman hanya menyamakan frekwensi dengan pravelensi publik.
Keduanya dahulu kala sesama anak kandung reformasi dan
pasukan anti kemapanan yang begitu terpesona dengan sosialis-humanisme dan
gagal melihat sisi baik kapitalisme Soeharto. Fadli Zon dan Fachry Hamzah juga
pernah berada di barisan itu.
Dengan bekal Ilmu Politik di Universitas London dan
Master Hubungan Internasional di Universitas Cambridge, Inggris, Budiman tidak
tampak kesulitan membentuk kontra narasi untuk menekuk lawan debatnya. Dalam
ILC pasca debat capres tempo hari Budiman mencerca Prabowo sebagai pengguna
teori Komunikasi Kebohongan. Dari perspektif pribadi, saya melihat ini sebagai
manuver cantik kelompok petahana yang akan terbaca seperti: menghibahkan
seluruh beban ke keranjang lawan.
Budiman mungkin sedang atau telah membaca buku Post Truth - Knowledge as A Power Game
karya Steve Fuller. Buku ini di antaranya menyinggung soal kampanye Brexit dan
Presiden AS. Kemudian, akar post kebenaran terletak jauh di dalam sejarah teori
sosial dan politik Barat. Buku ini menjangkau kembali ke Plato, berkisar lintas
teologi dan filsafat, dan berfokus pada tradisi Machiavellian dalam sosiologi
klasik.
Budiman juga menyebut Fadli Zon mengungkap teori-teori
yang terdapat dalam buku Teori Strukturisasi, yang ditulis Anthony Giddens.
Sementara Fadli Zon, seorang peraih beasiswa dari AFS (American Field Service) San Antonio, Texas, mungkin pernah membaca
buku arkais Amboinsch Kruid-Boek
karya Georgius Everhardus Rumphius terbitan tahun 1747 dan Mekka karya Dr. C. Snouck Hurgonje terbitan tahun 1889 yang mejeng
di Fadli Zon Library miliknya, namun hampir setiap kata-katanya terpaksa harus
mengutip buku Paradoks Indonesia dan Indonesia Menang milik Prabowo Subianto.
Hal ini menjadi masuk akal secara kebijakan politik oposisi.
Yang juga tak kalah menarik adalah Sujiwo Tedjo. Ia
adalah seorang Budayawan yang bila kita meminjam silogisme -dalam premis minor-
budayawan adalah juga seorang filosof. Bila Presiden Jancuker seorang filosof,
maka ia menjadi kebalikan dari Rocky Gerung. Tidak menguasai sejarah filsafat,
tapi mencetuskan filsafatnya sendiri.
Dalam beberapa kali tampil, ia pernah dua kali mengambil
narasi tentang tabiat kolektif manusia dari buku Sapiens dan tentu saja
sekuelnya Homo Deus karya YN Harari,
seorang profesor ateis-humanisme yang menjadi dosen jurusan sejarah di
Universitas Ibrani Yerusalem.
Dalam ILC berjudul Benarkah Jokowi di
Atas Angin? Saya tidak mencatat siapa saja narasumber yang tampil. Namun apapun
yang mereka katakan sepanjang itu bukan ujaran kosong tanpa dasar, maka
dasarnya adalah buku.
Dan buku - buku itu bisa saja Sosiologi Post Modernisme karya Scott Lash, Disruption-nya Rhenald Kasali, Etika Politik karangan Frans Magnis
Suseno atau setumpuk buku Teori Ekonomi Makro, Ekonometrika, Neo Liberalisme,
Teori Dunia Ketiga, Ekonomi Internasional dan seterusnya yang memenuhi kepala
seorang Rizal Ramli.
Rizal Ramli yang sejak belia mengidolakan Albert
Einstein, dalam menguraikan persoalan ekonomi bangsa, sepertinya tidak pernah
cukup waktu untuk mengutip buku The
Einstein Scrapbook dan Einstein - The
Life and Times dari Ronald Clarck yang menjadi koleksi wajibnya.
Di era Unicorn
dan segala paradoks milenial kini, dengan gawai pintar yang merampas detik demi
detik kita dari seharusnya membaca buku seperti mereka, adakah seseorang yang
kemudian bisa menebak buku apa yang sudah kita baca. ~MNT
Comments