Trias Politika


 
Ilustrasi: tendays.org.au



Oleh Muhammad Natsir Tahar

Dalam melaksanakan negara, kita menganut ajaran Trias Politika. Montesquieu menggunakan filsafat ketika melahirkan ini, tapi kita menukarnya entah bagaimana caranya, sehingga yang terjadi bukan pemisahan kekuasaan tapi pembagian kekuasaan. Sepertinya sebentuk kompromi, tapi ada yang menyelinap dari pintu belakang. Mereka adalah feodalisme dan politik kekuasaan.

Montesquieu adalah filosof sekaligus pemikir politik Perancis di era pencerahan. Ajaran Trias Politika-nya dianut oleh semua negara demokrasi yakni adanya pemisahan yang tegas antara lembaga Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif. Sejak Indonesia ada, kita menyimpangkan ajaran ini sehingga kekacauan mulai terjadi.

Seperti kata penyair Habel Rajavani, filsafat itu ibu kandung dari semua ilmu pengetahuan yang ditinggalkan anak-anaknya. Sedangkan politik praktis dan filsafat nyaris menjadi dua hal yang bertolak belakang. Dan penulis Amerika Martin L. Gross berujar: kita hidup di sebuah dunia di mana politik telah menggantikan filsafat.

Bila Trias Politika dilaksanakan secara benar, pemimpin Eksekutif utamanya presiden tidak akan punya kekuasaan superior dan paling menyita atensi publik. Lembaga Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif sama kuatnya. Lalu mengapa presiden dan lembaga eksekutif lainnya selalu dominan? Karena kita menggunakan logika politik dan inferioritas feodalisme.

Napoleon Bonaparte benar adanya ketika bersabda “en politique, une absurdité n'est pas un obstacle“ (dalam politik, kedunguan itu bukanlah halangan). Kita menyeburkan diri dalam pusaran kedunguan bernegara, sehingga semua perangkat aparatus termasuk  Legislatif dan Yudikatif selalu tunduk pada kekuasaan Eksekutif.

Esensi anggota dewan adalah oposisi, bila justru menjadi pembela Eksekutif, maka kembali ke sabda Bonaparte. Dalam sejarahnya, dewan dibentuk untuk mencegah kesewenang-wenangan raja, bukan duduk bersila bersamanya dan saling topang.

Demikian pula lembaga Yudikatif yang menurut Montesquieu mempunyai kekuasaan untuk mengontrol seluruh lembaga negara yang menyimpang atas hukum yang berlaku pada negara tersebut. Jika Yudikatif justru menjadi alat kekuasaan Eksekutif, maka Bonaparte tidak salah mengatakan mereka dungu.

Penyimpangan dari ajaran Trias Politika inilah yang kemudian menyebabkan negeri ini lari dari substansi. Idealnya bila ketiga lembaga berfungsi secara equal, negara akan berjalan secara paripurna, dan demokrasi dapat menemukan jalan pembenarannya.

Tidak ada kewenangan superior yang diberikan kepada masing – masing lembaga dan mereka memiliki kedudukan yang sama kuat. Karena filsafat tidak mungkin salah dan politik justru sebaliknya. Untuk tujuan-tujuannya terkadang politik berlari secepat bajingan untuk meninggalkan pemikiran jauh di belakangnya.

Lembaga Legislatif dan Yudikatif tidak memiliki kepercayaan diri yang tinggi bila berhadapan dengan kekuasaan bahkan rela menjadi subordinat, salah satu penyebabnya karena mental feodalisme yang sukar memisahkan pemimpin di negara demokrasi dengan raja – raja zaman perunggu.

Dunia pernah hidup di zaman filsafat menuju tatanan ideal, sampai para tiran mengusirnya dan membuat dunia rusak selama 200 abad. Sebut saja ketika raja Persia Xerxes menyerang Athena, menghancurkan ribuan buku dan pusat berpikir Acropolis atau ketika Alexander Agung menepikan fisafat Aristoteles gurunya, lalu melancarkan penaklukan di mana-mana.

Bila filsafat tidak disumbat dalam mengatur negara, semestinya semua akan berjalan ideal. Filsafat adalah pemahaman tentang kenyataan yang diperoleh secara logis, kritis, rasional, ontologis dan sistematis. Filsafat tidak pernah ingin selesai. Ia bersifat terbuka, dan selalu berakhir dengan pertanyaan baru. Ia bagaikan pengembara intelektual yang tak pernah berhenti. Mestinya ilmu politik sebagai anak kandung filsafat dapat segaris dengannya.

Dalam cara pandang filsafat Trias Politika, pemimpin eksekutif bukanlah sesembahan atau didudukkan lebih tinggi dari lembaga negara lainnya. Mereka berdiri sejajar dan sama kuat, untuk saling bersinergi membangun negeri ini serta menjaga kehendak rakyat yang sudah menggaji mereka. Bukan saling membahu untuk tujuan – tujuan politik kekuasaan yang sepele. Politik adalah pilihan antara yang lebih rendah dari dua kejahatan,  kata George Orwell, Penulis Inggris. ~MNT
    




Comments