Roda Hamster



Ilustrasi: www.infipark.com

Oleh Muhammad Natsir Tahar

Mata Indonesia sedang terunjam ke ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK), siapa kemudian yang akan dimenangkan? Ruang sidang ini tidak semata menjadi lokus penelanjangan, tapi juga lokus dialektika para cendika hukum. Jika ada dialektika mestinya ada logika.

Saya mencoba membuka tulisan ini dengan mengambil kalimat penting dari tulisan Alan Woods and Ted Grant berjudul Formal Logic and Dialectics of Reason in Revolt (1995). Begini katanya, pemikiran abstrak yang sepihak, yang terwujud dalam logika formal, telah membawa kerugian besar bagi ilmu pengetahuan dengan mengucilkan dialektika.

Padahal, hasil-hasil nyata yang telah dicapai ilmu pengetahuan telah menunjukkan bahwa, ujung-ujungnya, pemikiran dialektik jauh lebih dekat dengan proses nyata yang terjadi di alam dibandingkan abstraksi linear dari logika formal.

Penghadiran saksi ahli dalam ruang mahkamah mau tidak mau membuka dialektika hukum berdasarkan keilmuan karena hal tersebut adalah sesuatu yang inheren dan absolut pada dirinya. Sehingga saksi ahli tidak semata menjadi kuasa hukum tersamar yang meninggikan dalil - dalil parsial, mereka harus holistik untuk membuka ruang dialektik.

Meskipun sintesis tidak mungkin (ingin) hadir secara eksplisit dan para hakim harus mampu menyerap semua dalil dan narasi ilmiah secara konklusif atau membuat simpulan.
Hal yang menyita atensi dalam sidang sengketa pilpres hari-hari ini adalah adanya asas yang berbunyi "barang siapa yang mendalilkan, maka dia harus membuktikan" atau dalam bahasa Latin dikenal sebagai actori incumbit probatio. Artinya beban pembuktian ada pada pemohon.

Deretan pertanyaan tentu akan muncul, bagaimana bila pemohon tidak cukup kuat menghadirkan pembuktian? Bagaimana bila pemohon tidak mendapatkan akses atau pihak termohon memblokade semua upaya pembuktian?

Apakah Negara akan hadir guna memberikan jalan keadilan, ketika misalnya ia diduga justru menjadi instrumen kecurangan secara terstruktur, sistematis dan masif? Apakah ini tidak menjadi mirip seperti David melawan Goliath?

Apakah kemudian para Hakim MK hanya akan menggunakan pendekatan tekstual dan kuantitatif kalkulator dalam memutus perkara demi kepastian hukum, ataukah kemudian melompat dari roda hamster dengan menggunakan pendekatan kontekstual demi adanya kemanfaatan hukum?

Yang sebangun dengan filsafat dan esensi hukum tentunya dialektika kontekstual ketimbang hanya abstraksi linier dari logika formal (yang tertuang dalam teks dan empirik parsial), seperti kata Alan Woods and Ted Grant di atas.

Dalam Filsafat Hukum, kita mengenal yurisprudensi yakni ilmu yang mempelajari pengertian dan sistem hukum secara mendalam dengan pokok kajian yakni logika hukum, ontologi hukum (penelitian tentang hakikat hukum), epsitomologi hukum (ajaran pengetahuan), serta aksiologi sebagai penentuan isi dan nilai.

Sehingga Yurisprudensi tidak hanya berasal dari contoh putusan terdahulu, tapi juga memenuhi fungsinya sebagai ijtihad untuk memenuhi kekosongan hukum dengan spirit "judge made law" agar kemudian dijadikan pedoman sampai terciptanya kodifikasi hukum yang lengkap dan baku.

Meski yurisprudensi di Indonesia yang menganut mazhab Eropa Kontinental tidak memiliki kekuatan mengikat yang setara dengan negara-negara Anglo Saxon. Dalih untuk mengabaikan yurisprudensi menjadi tidak tepat demi upaya penegakan hukum secara kualititatif.

Apakah kemudian akan ada keadilan hukum di sini? Saya ingin menjawabnya: tidak sejak awal. Sebab pasangan Prabowo-Sandi sendiri telah melakukan pembiaran ketidakadilan itu dengan bersedia bertanding melawan poros Petahana seolah-olah mereka adalah David atau Daud yang mampu melumpuhkan raksasa Goliath atau Jalut. Inilah kutukan demokrasi kita, sepanjang  masa jabatan presiden tidak dihentikan hanya untuk satu periode.

Kecuali petahana mundur dari jabatannya seperti pada tingkat Pilkada, nyaris tidak ada alasan logis apapun yang mampu mematahkan bahwa telah terjadi fenomena pencitraan sekaligus pemenangan secara terstruktur, sistematis, dan masif, apakah hal itu dilakukan secara curang atau tidak.

Maka sidang MK yang menyita sangat banyak atensi kita belakangan ini, hanyalah gelar perkara bernuansa entertainment yang seolah-olah ilmiah, taat asas, dogmatis, terhormat dan seterusnya, padahal berangkat dari sesuatu fakta atau fenomena yang tidak koheren untuk disebut adil.

Terakhir saya ingin menggunakan hukum kausalitas. Bila kemudian pemohon tak mampu membuktikan dalil-dalil adanya kecurangan pada level terstruktur, sistematis dan masif karena harus berhadapan dengan pengujian cepat (speedy trial), lalu para Yang Mulia memutuskan pihak termohon dibebaskan atau dimenangkan dari tuntutan, artinya secara logika pihak pemohon telah melayangkan tuduhan palsu.Karena hukum tidak mungkin paradoks (para pihak mengandung dua kebenaran sekaligus), sehingga harus ada pihak yang benar dan yang salah.

Nah, dengan asas actori incumbit probatio yang menjadi perisai pihak termohon dan terkait, siapa kemudian yang mampu membuktikan bahwa pihak pemohon telah bersalah dengan membuat tuduhan palsu. Bila termohon tidak mampu membuktikannya maka akan kembali ke premis pertama, begitu seterusnya, mirip roda hamster. ~ MNT




Comments