Posisi Oposisi Disposisi



Ilustrasi: allbusiness.com



Dalam pembicaraan lucu-lucuan politik pasca pilpres selalu muncul diksi seperti rekonsiliasi, koalisi, oposisi dan posisi (menteri). Demokrasi minus literasi itu memang lucu. Demokrasi akhirnya hanya lema abstrak, karena belum ada padanan kata yang eksak untuk menjelaskan apa sistem politik kita sebenarnya.

Di dalam konstalasi kosmos, mulai dari UC Scuti (sebuah bintang maha raksasa yang berhasil dicatat bumi dengan besar tiga juta kali matahari) hingga Quark sebagai inti atom super halus, posisi dan oposisi selalu ada. Kita dapat mendalaminya lewat fisika kuantum dan fisika partikel.

Dalam Antro-sosiologis, manusia sebagai makhluk sosial sekaligus politik (zoon politicon) berkeliaran di muka bumi adalah selang seling di antara posisi dan oposisi. Sang Maha Kosmos telah menitipkan dua macam naluri dasar ke dalam sistem algoritma manusia yakni reptilia, sebagai penjaga untuk bertahan dan menyerang, dan mamalia, untuk berkelompok dan berkasih sayang. Itulah bahan dasar posisi dan oposisi.

Kedua naluri dasar ini juga terdapat pada simpanse. Perbedaan DNA kita dengan mereka hanya 2 % sampai 5 %. Perbedaan yang amat tipis, tapi mampu menyulap kita menjadi Stephen Hawking atau monyet sirkus. Saya hanya ingin mengatakan bahwa posisi dan oposisi bukanlah wacana kekinian apalagi futuristik, itu hanyalah dinamika purbawi.

Sehingga seseorang tidak perlu terlalu banyak membuang narasi-narasi yang seolah-olah educated untuk menjelaskan bahwa mereka sedang mengincar posisi menteri, misalnya. Karena kera jantan juga melakukan hal serupa untuk merebut betina atau posisi ketua kelompok.

Bumi adalah wadah terbesar manusia. Posisi kita sebagai pewaris bumi mungkin akan beroposisi terhadap makhluk ekstraterestrial. Taruhlah prediksi para kosmolog benar, bahwa ada tetangga bintang terdekat kita yang memiliki tata surya dengan salah satu planetnya memberi akses terhadap kehidupan bagai bumi.

Mereka mampu mendeteksi kita lewat gelombang radio dan televisi yang sudah kita pancarkan selama seratus tahun terakhir. Bila ada ancaman dari langit, manusia bumi lintas benua secara reptilia akan bersatu menghunuskan senjata menghadapi para musafir kosmik yang kita panggil alien.

Di lintas benua pula, para bangsa mulai gelisah memandang sejarah eksistensinya yang tercabik oleh sejarah kolonialisasi, penindasan, dan perang. Mereka kemudian mendirikan negara-negara. Mitologi, glorifikasi, kegelisahan eksistensial, imaji utopia, ideologi sampai biologi, menjadi batu bata bagi bangunan khayali yang kita sebut nasionalisme.

Di dalam negara yang diselubungi nasionalisme itu, posisi dan oposisi dipicu  oleh diskursus untuk mengendapkan tirani dan penindasan serta oleh politik kekuasaan. Seharusnya hanya ada dua posisi yakni rakyat dan tirani untuk melahirkan demokrasi, tapi secara lucu, para elite lah yang membagi dirinya sebagai posisi dan oposisi, itupun jika tidak tercapai rekonsiliasi.

Rekonsiliasi dan koalisi sebenarnya adalah sebuah kelucuan dalam Trias Politika, karena esensi parlemen adalah oposisi untuk menjaga rakyat agar tirani tak bangkit lagi.

Fenomena posisi dan oposisi akan terus ada bila kita membelahnya menjadi bagian yang lebih kecil. Dimulai dari bumi, negara, distrik, sampai level RT. Posisi dan oposisi mudah menajam oleh tribalisme, chauvinisme atau taat membabi buta pada kultus individu, hingga bahkan egosentrisme.

Unit terkecil dalam masyarakat yakni keluarga ternyata tidak cukup kuat dibentengi oleh naluri mamalia. Akan ada posisi dan oposisi antarpasangan, lalu di antara anak-anak untuk mendominasi kasih sayang hingga konflik harta warisan.

Akhirnya manusia tinggal sendirian dalam posisi egonya dan mengoposisi semua individu di luar dirinya. Dalam kesendirian itu ternyata masih ada posisi dan oposisi, karena di dalam diri kita ada dosa dan pahala, otak kiri dan kanan, sadar dan bawah sadar, material dan spiritual. Seseorang yang memiliki kecenderungan transgender, bipolar dan alter ego akan terus berkecamuk antara posisi atau oposisi.

Posisi dan oposisi dalam semua dimensi kemanusiaan kita dapat diredam dengan disposisi. Disposisi dimaksud dalam Hermeneutika, dapat dijelaskan sebagai komitmen etis untuk memperbaiki masalah tertentu. Oleh Edward III, disposisi adalah suatu keinginan, kemauan, dan kecenderungan para pelaku kebijakan untuk melaksanakan kebijakan tersebut secara sungguh-sungguh.   

Sungguh negeri ini membutuhkan disposisi, melebihi sekadar secarik surat dalam konteks administrasi kepegawaian. Atau istilah-istilah lain dalam ilmu kedokteran, hukum, dan fisiologi yang bersifat parsial. Dalam dogma tertentu, disposisi yang acap dibicarakan dalam filsafat, juga dikaitkan dengan pertobatan sejati dan pengakuan dosa. Singkat kata, posisi dan oposisi membutuhkan disposisi. ~MNT





Comments