Kesadaran Kosmik

Ilustrasi: cdn.com




Oleh Muhammad Natsir Tahar

Kosmos adalah keteraturan dalam sebuah sistem semesta, bermula dari titik nol hingga kembali menjadi nol. Ia adalah struktur berskala raksasa, sehingga sejarah harus dipahami secara holistik dan serentak (hubungkait – kausalitas), bukan parsial dan uji petik.

Kita mesti berlaku adil bagi sejarah kita sendiri, tidak memihak sepenggal dan memusuhi penggalan lainnya. Dalam wacana glorifikasi, setiap bangsa mengambil bagian terhebat dari rantai sejarahnya atau sejarah orang lain. Berpakaian dan beristiadat terbaik yang diangkat dari sekali derit jembatan waktu yang sangat panjang.

Adat yang kita pegang hari ini adalah himpunan catatan data (blockchain) yang dikelola oleh sekelompok orang pada masa lalu. Mungkin beberapa proposal adat dari kelompok lain telah ditolak. Awalnya biasa saja, waktu kemudian menyulapnya menjadi sakral.

Beberapa dari kita terperangkap dalam romantisme dan memusuhi masa depan. Menganggap hal yang baru adalah buruk dan melanggar istiadat. Padahal sebelum istiadat itu menjadi konsensus kultural, ia adalah hal yang baru pula pada masanya bahkan meniadakan nilai-nilai usang yang lebih purba. Tradisi pada hari ini tidak mungkin ada, jika yang lebih terdahulu darinya tidak ingin mengalah.

Di dalam kosmos kita tidak mungkin sendiri, kecuali bila kita pernah terisolasi selama ribuan tahun seperti Aborigin Tasmania. Pakaian tradisional, kosa kata kita, tarian dan nyanyian, tata krama, nilai – nilai budaya yang kita anut adalah akultutrasi dan bauran dari berbagai-bagai. Tradisi kita tidak jatuh dari langit dalam bentuk utuh, ia adalah produk globalisasi jauh sebelum kata itu ditemukan.

Bila kita menganggap tradisi kita mengandung nilai-nilai sakral lagi luhur karena tuanya, ketahuilah ketika tradisi itu terlahir dari nuansa teritorial kita yang primitif, beribu-ribu tahun sebelum itu di irisan dunia yang lain mereka sudah memikirkan tatanan alam semesta yang rinci dan menemukan sebutir debu kosmik bernama bumi.

Ketika tradisi kita sibuk mengasapi keris dengan kemenyan dan merasa paling purba, tiga ribu tahun sebelum itu Archimedes seorang genius dari Syracusa sudah menemukan dasar-dasar Mekanika Fluida dan Heron dari Alexandria sudah menulis Automata, buku pertama tentang robot.

Kita adalah bangsa yang sangat muda dan kadang merasa sudah sangat purba, dan kita tidak mungkin lahir dari jerami seperti postulat Generatio Spontania Aristoteles. Kita terhubung dengan bangsa-bangsa terdahulu, bisa saja orang-orang genius para penemu sistem navigasi atau adukan semen adalah tetua kita setelah melewati persilangan biologi yang panjang. Tapi nasib yang membawa moyang kita mungkin tersesat ke belantara primitif.

Membaca tradisi hari ini, generasi milenial kita hendaklah meregangkan pita kosmos pengembaraannya dari ujung ke ujung sehingga tak ada lagi yang tersisa untuk dibicarakan. Bukan lagi terjerat dalam tribalisme egosentris yang sempit sedepa atau kegayutan yang sangat kuat kepada radius teritorial. Karena kita lebih besar dan sejajar dengan warga dunia.

Diksi-diksi bahari yang selama ini mengambil ruang sempit primordialisme, agaknya perlu menampilkan dirinya dalam ruang dan waktu sejarah dalam medium semesta.

Sementara tugas sastra milenial tidak hanya pengabdian penuh kepada estetika metabahasa, namun juga tidak menanggalkan tugas suci sebagai pembawa pesan etika moral. Sastra dan puisi sebagai kendaraan makna dan aksioma tidak melulu mencitrakan dirinya, namun juga tanggung jawabnya sebagai aksara sosial.

Dalam mengamati dikotomi tradisi dan modernisasi ketika dari keduanya mengandung anasir yang kontraproduktif, Kuntowijoyo telah menggagas Sosiologi ProfetikPertama, sosiologi profetik memiliki tiga nilai penting sebagai landasannya yaitu humanisasi, liberasi dan transendensi. Ketiga nilai ini di samping berfungsi kritik juga akan memberi arah, bidang atau lapangan penelitian. 

Kedua, secara epistemologis, sosiologi profetik berpendirian bahwa sumber pengetahuan itu ada tiga, yaitu realitas empiris, rasio dan wahyu. Ini agak berbeda dengan positivisme Auguste Comte yang memandang wahyu sebagai bagian dari mitos.

Sosiologi Profetik dipahami dan didudukkan dalam konteks ilmu sosial yang memiliki tanggung jawab profetik untuk membebaskan manusia dari kekejaman kemiskinan, pemerasan kelimpahan, dominasi struktur yang menindas dan hegemoni kesadaran palsu.

Dengan demikian kita tidak hanya membaca dan menulis ulang masa lalu kemudian memaafkannya, namun juga ikut memberi pelurusan dan perlengkapan agar generasi setelah kita memiliki kesadaran kosmik dan keunggulan yang setara kemajuan zaman. ~MNT






Comments