Sapu Lidi Harry Potter

Harry Potter: imgix.ranker.com


Oleh Muhammad Natsir Tahar

Nasionalisme modern terbentuk dari kegelisahan eksistensi. Dari rasa cemas memandang masa depan dan keinginan yang serentak untuk lepas dari belenggu hegemoni. Episentrum nasionalisme tersebar ke dunia dalam bentuk revolusi di Perancis dan Amerika Utara. Tapi nasionalisme tidak hanya soal patriotisme, karena ada yang menudingnya sebagai ikatan kelemahan yang bermutu rendah.

Ketika dijajah, sebuah bangsa sangat butuh nasionalisme laksana filosofi sapu lidi. Sapu lidi bahkan bisa lebih dari ikatan lidi-lidi lemah yang kemudian menjadi kuat, ia juga menjadi perkakas ajaib yang bisa ditunggangi oleh penyihir untuk terbang kemana-mana.

Nasionalisme dalam sebuah bangsa terbangun sebab ada kepentingan bersama, selebihnya adalah kenangan. Nasionalisme juga adalah dogma yang mengajarkan bahwa individu hanya hidup untuk dan demi bangsanya sendiri. Dogma ini sudah terbentuk sejak zaman monarki. Jelata melaksanakan perang suci atas nama nasionalisme yang di balik itu adalah demi kepentingan singgasana raja.

Prof. Hertz dalam bukunya Nationality in History and Policy menguraikan enam prinsip nasionalisme yakni hasrat untuk mencapai kesatuan, kemerdekaan, keaslian, kehormatan bangsa, persamaan ras, serta keinginan dan tekad bersama untuk lepas dari belenggu penindasan.

Indonesia memiliki suasana kebatinan nasionalisme yang sangat kompleks. Tidak mudah membangun imaji ke-Indonesiaan di antara 1.340 etnik yang menyebar di antara 17.504 pulau. Mana dari enam prinsip nasionalisme Hertz yang masih relevan untuk kita terus mempertahankan nation building dan mana yang sudah usang.

Bangunan nasionalisme bisa pecah oleh semangat tribalisme dan chauvanisme sebagai bentuk keakuan yang kuat pada diri dan kelompok serta ideologi yang sempit. Dan pula oleh derajat integrasi yang tidak selesai. Namun nasionalisme yang dipertahankan dengan pura-pura lupa untuk apa nasionalisme itu ada -dengan alasan yang paling logis yakni keadilan dan kesejahteraan bersama- maka ini akan sama buruknya.

Bila dulu nasionalisme dipertimbangkan sebagai bagian integral dari sejarah politik dan gerakan nasional masa kolonial, nasionalisme abad digital adalah tentang jaringan kebangsaan yang telah siap menghadapi hempasan badai global dalam proses berkeadilan. Jangan sampai ada satu anak bangsa pun yang merasa ditinggalkan dari suasana keadilan. Tidak ada kasta dan tidak ada warga negara kelas dua.


Jalinan nasionalisme dapat bermutu rendah karena merosotnya pola pikir. Apabila nasionalisme jarang dipertanyakan ulang, maka para elitis menganggap nasionalisme adalah semacam kebenaran politik (political legitimacy) yang bisa ditafsirkan sepihak. Nasionalisme yang kuat namun bermutu rendah akan tertunggangi.

Literatur tentang nasionalisme memperkenalkan jenis-jenisnya. Ada Nasionalisme Kewarganegaraan yang dicanang JJ. Roausseau dalam istilah Du Contract Socialeatau Mengenai Kontrak Sosial. Ada pula Nasionalisme Etnik dan Romantik seperti yang pernah dianut bangsa Jerman yang dicetus oleh JG von Herder, Nasionalisme Budaya seperti Tiongkok, Nasionalisme Kenegaraan diperkenalkan oleh Nazi, Turki kontemporer, Nasionalisme Perancis versi Jacobin, Franquisme sayap kanan di Spanyol dan nasionalisme masyarakat Belgia. Lalu juga Nasionalisme Agama yang dibangun Katolik Irlandia dan Hindu di India.

Nasionalisme Indonesia adalah bauran dari semua kompleksitas yang ada bahkan menjadi wacana kekaguman global. Indonesia tetap utuh karena adanya konsensus Negara Kesatuan. Namun bibit perpecahan akan selalu ada bila negara tidak segera membuat perbedaan yang tegas antara Negara Indonesia dengan sederatan negara yang pernah menjajah negeri ini.

Nasionalisme itu ibarat sapu lidi ajaib yang bisa terbang, nasibnya ditentukan apakah kemudian ia ditunggangi oleh penyihir putih seperti Harry Potter atau Agnes Waterhouse, seorang lagenda penyihir jahat yang bersekutu dengan iblis. ~MNT









Comments