Tragedi dan Komedi



Ilustrasi: fineartamerica.com



Oleh Muhammad Natsir Tahar

Apa yang membuat kita ketawa, tragedi atau komedi? Semua orang -kecuali ia penikmat derita atau masokis- akan memilih komedi. Tragedi dan komedi adalah dua tema besar nan dikotomis di atas kanvas kehidupan kita.

Tragedi dan komedi, kata Aristoteles adalah sebentuk mimesis (meniru) manusia dengan alamnya. Kita seperti dilarang ketawa dengan cara komedi, karena Aristoteles memihak tragedi.

Filsafat Barat meninggikan tragedi dari komedi. Tapi Filsafat Timur seperti Buddhisme atau Zen menihilkannya: melepaskan diri dari ketergantungan pada tragedi dan komedi. Untuk membedakan Filsafat Timur dengan Nihilisme Nietzsche adalah penyangkalan Nietzsche terhadap adanya tujuan final dari kehidupan.

Lalu bagaimana dengan mistikus atau sufisme, di antara mereka telah menyatakan diri untuk keluar dari filsafat, atau sebenarnya telah berpindah ke Filsafat Timur.

Filsafat Timur berat, perlu latihan khusus, dan pengikutnya sedikit, karena manusia selalu ingin menjadi bagian dari tragedi. Sejarah dunia abad demi abad ditulis dengan tinta emas untuk menyepuh merah darah tragedi.

Pahlawan dan orang suci ditarik oleh sejarah dari medan perang dan duka nestapa. Sejarah tidak menulis orang-orang konyol, maka sejarah mungkin tidak menulis komedi.

Secara etimologis, tragedi berangkat dari kata Yunani tragoidia, terbagi dari kata tragos, artinya kambing dan aeidein yang berarti nyanyian. Menggambarkan nyanyian yang mengiringi nasib seekor kambing yang dikorbankan pada acara ritual dalam budaya Yunani kuno.

Tragedi melambangkan keseriusan seorang tokoh berkarakter protagonis, yang berupaya untuk menelaah pertanyaan-pertanyaan eksistensial manusia. Tragedi ditujukan untuk memicu kartarsis (penyucian) dengan respon paradoks.

Sedangkan komedi berasal dari bahasa Yunani kōmōidía berarti suatu karya lucu yang semata bertujuan untuk menghibur dan menimbulkan tawa.

Dalam Poetics, Aristoteles menyebut tragedi sebagai kebaikan dan kehormatan sedangkan komedi sebagai sesuatu yang inferior dan hina dina. Tragedi dan komedi adalah dua genre besar pertunjukan pada zaman Yunani kuno. Di balik tragedi ada mimesis belajar dan berpikir, sedangkan dalam komedi hanya ada pembengkokan logika, bahkan kelucuan harus hadir dari sesuatu yang rendah atau cacat tubuh dan mental.

Sungguh aneh, tentang fenomena manusia yang menghibur dirinya dengan menonton panggung tragedi. Menikmati kepiluan dan rasa takut yang dialami tokoh protagonis, yang di ujung cerita berhasil memindahkan derita itu kepada pemeran antagonis. Kita menunggu sebuah penderitaan berpindah, kita mengikuti penderitaan itu.

Dunia lebih dipenuhi tragedi ketimbang komedi karena manusia menyerap kepiluan dari setiap fenomena yang mereka alami dan selalu ingin terlibat di dalamnya.

Seperti kata Wallace D Wattres dalam bukunya The Science of Getting Rich yang terbit pada 1910, pikiran tentang perang akan menarik lebih banyak perang, demikian pula untuk wabah penyakit, bencana alam, dan kelaparan. Keserupaan menarik keserupaan. Gagasan ini oleh Rhonda Byrne dipopulerkan dengan istilah Law of Attraction (LoA) atau Hukum Tarik Menarik.

Untuk melenyapkan tragedi adalah dengan melupakannya. Planet ini hanya senda gurau belaka. Kelimpahan hanya bisa ditarik oleh syukur dan kegembiraan. Dan kegembiraan selalu datang dari tawa, yang memiliki sumber berlimpah dari komedi. Betapa banyak orang yang kecanduan obat untuk mencari bahagia, atau menenggak alkohol untuk sengaja mabuk lalu melupakan tragedi.

Di antara kita pernah mendengar tentang tragedi gas ketawa hasil temuan Joseph Priestley di Eropa (1793). Orang-orang menghirup gas pemati rasa bernama Nitrous Oksida itu untuk membuat mereka bisa tertawa. Mereka gagal menemukan itu dari komedi. Tapi bagaimana dengan tragedi? Apakah kita memang jenis makhluk yang sadis: menghibur diri dengan tragedi.

Berita yang paling banyak kita nikmati adalah tragedi. Sinema yang paling ingin kita tonton bertema kekerasan atau horor. Novel–novel derita cinta dan pengkhianatan selalu paling laris. Sophocles  dan Shakespeare abadi karena mereka menulis tragedi.

Anak-anak milenial menikmati tragedi dalam bentuk Mobile Legends atau Clash of Clans. Orang berselera humor rendah, terpingkal melihat tragedi sebuah sepeda meluncur ke dalam selokan. Orang-orang cerdas mengkritisi tragedi dengan cara satire seperti Voltaire.

Kembali ke Aristoteles, bila komedi dianggap inferior, dapatkah tragedi disebut superior? Sedangkan ada bagian dari tragedi yang dilakukan pesakitan berperangai masokis (masochist). Mereka menikmati ketika dirinya disiksa, sementara orang-orang sadis menikmati penyiksaan yang mereka lakukan, lalu keduanya bekerjasama dalam sadomasokis.

Bahkan yang selalu menjadi korban tragedi adalah orang-orang inferior, bukan karena ia mendapat ujian atas kebajikannya, tapi akibat dari kenaifan dan kedaifannya.

Sebaliknya komedi abad ini adalah industri cerdas yang bisa dikemas cara elegan dengan berbagai teknik untuk memanipulasi penonton. Hal ini dapat kita lihat pada stand up comedy yang diulas para pakar. Komika bisa disebut genius bila ia mampu membelokkan premis yang absurd dan irasional untuk meledakkan tawa tanpa perlu memasang muka atau gerakan aneh.

Bila kita gagal menjemput kegembiraan dari komedi, perlukah kita menertawakan tragedi seperti Joker dalam Batman? Bisa saja, jika tidak hari ini mungkin nanti. Seperti rumus sutradara Woody Allen, komedi = tragedi + waktu. Kutipan ini muncul dalam salah satu dialog di film Crime and Misdeamanor, bahwa apa yang kita tangisi dan membuat kita marah sekarang, akan membuat kita tertawa nanti. Tragis? ~ MNT










Comments