Dialektika Negara


 
Ilustrasi: thejakartapost.com



Oleh Muhammad Natsir Tahar

Dialektika dalam bernegara tidak pernah selesai. Negara harus menyodorkan cara berpikir dialektis soal kebangsaan. Negara tidak bisa monolog dan memborong semua peran protagonis. Karena kadang-kadang negara memainkan sebuah tesa yang antagonis.

Negara tetaplah sebuah tesa, sesengit apapun frasa parsial yang ingin dibangun oleh politisi di dalamnya. Tesa kata Hegel adalah sebentuk fenomena, problematika, kekusutan bahkan kontraproduktif bagi gapaian utopia. Tanpa cita-cita untuk sampai ke utopia, negara hanyalah ritual kecemasan.

Maka negara membutuhkan antitesa agar ia tetap berada di laluan yang tepat: sebuah ritual birokratis yang bergerak mendekat ke arah kemakmuran semua, bukan sepilah-sepilah, bukan hanya untuk orang dalam dan membiarkan rakyat di luar sana terus terimpit dan terhegemoni.

Antitesa yang bergema di ruang publik harus dianalisis dalam logika formal. Hal ini hanya bisa terlaksana dengan gerakan pikiran, bukan berpusat kepada kelumpuhan akal para oligarki. Tersebutlah di sebuah negeri, ketika orang-orang bijak bestari yang lolos dalam seleksi oligarki, tiba-tiba melupakan kenangan kecerdasan mereka.

Kawanan oligarki yang bercokol dalam negara dan semua elemen luaran yang menopangnya, tidak bisa mengambil penuh dan menerjemahkan seluruh Pancasila sebagai falsafah negara untuk diperalat menjadi perisai politik kekuasaan. Mereka harus membiarkan publik tanpa kecuali menyodorkan terjemahan mereka.

Negara demokrasi tidak berhak mengusir semua antitesa, kecuali mereka mampu membuktikan sebaliknya. Tugas negara bukan menutup semua celah kritik, tapi membuat tidak ada ruang tersisa untuk dikritik. Sepanjang masih ada kritik, mari kita bicara. Tesa dan antitesa harus berunding sehingga lahir sintesa. Sintesa itu berupa konsensus nasional untuk memenangkan rakyat.

Negara harus memperkuat Pancasila dengan menolak semua proposal ideologi lainnya, katakanlah liberalisme, sosialisme, komunisme, dan khilafah. Ideologi-ideologi ini akan bungkam dengan sendirinya bila negara sudah mampu membuktikan bahwa Pancasila adalah ideologi bernegara yang terbaik.

Negara tidak perlu melabel semua gerakan berpikir sebagai radikal, barangkali mereka hanya menawarkan alternatif karena melihat gejala Pancasila yang selama ini dijalankan telah terkontaminasi ideologi-ideologi penyelinap dan tidak mampu membawa bangsa ini kemana-mana selain sebagai penghapal sila satu sampai lima.

Sudahkah penyelenggara negara menerapkan kelima prinsip dasar Pancasila itu? Di tengah gemulainya pertahanan kita pada kapitalisme predatoris, serangan proksi, tabiat otokrasi-koruptif dan keberpihakan kepada pasar-individualis yang kesemuanya mengoyak peri kemanusiaan yang adil dan beradab serta peri keadilan sosial.

Sudahkah politik anggaran dilaksanakan dengan adil untuk rakyat, di tengah sangat dipentingkannya urusan ritual, fasilitas dan kemewahan penyelenggara negara, serta cara belanja yang boros dan korup ketimbang mengoptimalkan biaya publik.

Lalu negara mengumumkan kembali soal defisit anggaran, kemudian memijak rakyat, menagih dan mengancam. Memindahkan beban kedunguan dalam mengelola pelayanan publik ke bahu rakyat yang sudah terbebani dalam banyak hal oleh negara. Mana transparansi anggaran, mana akuntabilitas publik? Saatnya kebijakan yang merugikan publik, pelakunya dikriminalkan, agar adil.

Dalam hikmat kebijaksanaan, sudahkah suara – suara rakyat dihormati dan tidak dicederai. Lalu kemudian sudahkah penyelenggara negara berlaku adil atas dua jenis rongrongan atas Pancasila? Jika cenderung melihat bahaya besar hanya datang dari chauvanis atau radikalisme keagamaan tetapi membuta pada idelogi para penyelinap yang berhasil disusupkan ke dalam tubuh Pancasila.

Sudahkah hukum berlaku adil untuk semua, hanya tajam untuk jelata tapi tumpul pada transaksi politik, uang atau tekanan kekuasaan. Hukum bisa diutak-atik dengan cara pandang yang hanya baik untuk mereka tapi cacat dalam keadilan.

Pancasila bukan sebatas hapalan sekolahan sebagai Dasar Negara, tapi adalah solusi untuk menegah ancaman negatif globalisasi yang telah membelah umat manusia menjadi dua golongan, yang menang dan yang tertindas. Jika faktanya rakyat masih hidup dalam hegemoni, baik secara dalam negara maupun internasional, mari berhitung sejauh mana Pancasila sudah dihadirkan oleh rezim ini?

Negara mestinya menutup wacana untuk mengganti ideologi Pancasila dengan memperbaiki cara mereka memberlakukan Pancasila dari dalam, dari diri –Negara-  sendiri. Sehingga tidak ada lagi ruang untuk mendebat Pancasila sebagai ideologi bangsa dan dasar negara. 

Aneka bentuk kekerasan sosial berbasis fundamentalisme keagamaan, tribalisme, premanisme dan sentimen kelas sosial adalah pantulan dari hilangnya bahkan tidak dikenalnya Pancasila dalam tataran implementasi. Ketika negara tidak memberi contoh yang baik, bagaimana mengamalkan Pancasila pada diri mereka terlebih dahulu.

Negara harus menciptakan mekanisme sistematis dan testruktur agar Pancasila mampu menjadi solusi bagi bangsa ini. Dimulai dari satu pertanyaan: sudahkah penyelenggara negara menerapkan Pancasila dengan benar atau hanya bagian dari kerumunan penghafal hedonis atau pendaku tiba-tiba? ~MNT

Comments