Planet Lain


Ilustrasi: jamaicaobserver


Oleh Muhammad Natsir Tahar


Baru sebentar kemarin, rasanya sekarang sudah penutup tahun 2019. Waktu terlalu gegas, dan kita dapat jatah 365 hari setahun. Jika kita berumur 50 tahun lalu pergi ke Pluto, kita adalah bayi 2 bulan 12 hari karena setahun di Pluto sama dengan 248,2 tahun di bumi. Dengan umur yang sama, di Merkurius kita sudah sangat tua mencapai bilangan 206 tahun, karena setahun di sana hanya butuh 88 hari.

Satu tahun di Mars lamanya sama dengan 687 hari atau 1,88 tahun ukuran Bumi. Satu tahun di Saturnus durasinya sama dengan 29 tahun 5 bulan. Venus membutuhkan waktu selama 243 hari sekali rotasi, sehingga satu hari di Venus lamanya adalah 243 hari ukuran waktu Bumi.

Demikian seterusnya dan seterusnya, belum lagi bila kita menghitungnya dari tata surya matahari atau bintang lain. Bagaimana dengan galaksi lain, Andromeda, Black Eye, Centaurus, Megellan dan lagi sampai miliaran yang di antaranya berjarak miliaran tahun cahaya pula.

Cahaya hanya butuh 1/7 detik untuk mengelilingi bumi, tidak dengan Robert Garside seorang pria yang dijuluki The Running Man, butuh waktu 5 tahun 8 bulan dengan berlari, atau Mike Hall menghabiskan 107 hari dengan bersepeda. Lalu semua konsep tentang waktu yang terlalu dahsyat untuk diukur, terhisap, melelah, dipadatkan, fana di Lubang Hitam Semesta (Black Hole).

Saya tak maksud bicara kosmos lagi. Sekadar berimaji tentang dua atau tiga planet lain yang juga diselubungi atmosfer bagai bumi. Lengkap dengan laut, hutan dan hewan. Dari ribuan triliun planet di jagat ini para saintis kosmolog tidak menutup kemungkinan adanya sumber kehidupan lain di luar bumi.

Suatu waktu teknologi roket sudah mencapai puncaknya, lalu kita bisa mengakses planet itu dalam hitungan waktu antarbenua, memungkinkan untuk memindahkan ribuan bahkan jutaan orang, memulai kehidupan yang baru.

Suatu waktu nanti -jika tidak segera disalip oleh kiamat- bumi sudah tidak aman ditinggali. Pemanasan global, ekosistem yang punah oleh kejahatan tangan industri destruktif, sampai ke ancaman asteroid dari antariksa. Bumi semakin penuh, umat manusia mendesakinya. PBB mencatat, tiap hari 360.000 bayi lahir dan 152.600 orang meninggal, sehingga dalam setiap 13 tahun penduduk bumi bertambah satu miliar.

Situasi geopolitik juga tidak sedang membaik, para politisi dunia membuat langkah mundur. Harapan para generasi kosmo untuk menghadirkan dunia ultra modern yang sentosa, dibinasakan oleh sifat tamak Sapiens yang sudah diturunkan dari zaman kapak batu. Orang-orang dalam negara, menghancurkan negerinya sendiri dengan bermain anggaran, berebut proyek dan mengorupsi sisanya. Mereka mengetok palu anggaran dengan sumringah.

Mereka terus berlomba dengan negara-negara neo-kolonialis tentang siapa yang paling cepat membuat negeri ini tumbang. Isu-isu dialihkan ke hal permukaan yang mendominasi lini masa berita-berita. Berita-berita yang di-klik para nomad supermarket sebatas jeda di antara perburuan hedonis di lautan digital.

Orang-orang terus aneh, memecahkan muka maling kecil, sebagian membakarnya. Merasa paling suci atau wakil Tuhan di bumi. Padahal jika maling itu kaya, dia tidak ada di sana, mungkin sedang main golf di The Els Club, Dubai atau memburu wine abad ke-19 di Bordeaux, Prancis.

Penjahat kemanusiaan lolos, perusak lingkungan bebas, penikmat kemewahan negara melenggang setelah menggemukkan anggaran, koruptor yang belum tersentuh masih lebar tawanya. Penerima suap dan upeti izin semakin menggelinjang. Padahal tanpa orang-orang ini, maling itu tidak dibakar. Mereka akan punya pekerjaan yang layak, atau pendidikan memadai.

Dengan senjata dan seragam yang dibeli dari uang rakyat, oknum aparat mengusir pengunjuk rasa dengan brutal. Mereka bahkan tidak ingin bertanya apa yang sedang mereka bela.

Padahal jika aspirasinya terpenuhi oleh negara, pengunjuk rasa itu sedang memetik hari-hari bahagia mereka pada hari yang sama. Sebagian besar dari mereka tidak berunjuk rasa atas kepentingan pribadi, tapi kepentingan publik, yang juga membawa kepentingan keluarga dan kerabat oknum berseragam.

Beberapa kelompok berdebat tentang ideologi, berselisih tentang ajaran Tuhan. Tapi tidak menyentuh atau bahkan untuk menutupi apa yang paling urgen sebenarnya. Uang negara tetap dirampok, pungutan tetap naik, jalan dan jembatan dibangun dengan utang. Beberapa pejabat membuat kerja tolol seperti dalam kasus beras Bulog, mereka tingga menyiapkan alasan membela diri, dan semuanya selesai. Sementara hukum tetap bisa dibeli dan menunduk di bawah petunjuk politik.

Perdebatan tetaplah tontonan yang memenuhi kebutuhan kapitalisme televisi atau google  adsense di kanal Youtube. Berita-berita adalah bagian dari industri media yang tak mampu berbuat banyak. Karena mereka juga sibuk menghidupi diri sendiri, agar bisa tetap bernafas dan membayar pungutan.

Bumi makin tidak aman, karena bumi itu sendiri dan karena orang-orang di atasnya. Tidak ada keadilan di bumi. Malaikat sibuk mencatat dosa para penjahat terhadap negaranya, tapi bukan untuk mencegah. Orang-orang akan semakin banyak bicara di media sosial, karena hanya sebatas itu yang mereka bisa. Salah satu dari mereka mulai berteriak: mana planet lain, kami yang pergi atau kalian?

Seekor elang kerajaan hinggap di dinding reruntuhan yang dihuni burung hantu. Burung-burung hantu menakutkannya, si elang berkata, “Bagi kalian tempat ini mungkin tampak makmur, tetapi tempatku ada di pergelangan tangan raja.” Beberapa burung hantu berteriak kepada temannya, “Jangan percaya kepadanya! Ia menggunakan tipu muslihat untuk mencuri rumah kita.”__  Jalaluddin Rumi. ***

Comments