Surga dan Demokrasi


Heaven Canvas: noellerollinsart.com

Oleh Muhammad Natsir Tahar


Demokrasi bukan fisika Newton, bukan kitab dogma. Demokrasi adalah konsep, sebuah dialektika. Yang terpenting adalah scope, apa yang sudah dicakup oleh demokrasi. Agar demokrasi tidak dicatat sejarah sebatas sebuah siklus.

Eric Weiner sang penjelajah filsafat, seorang penggerutu yang telah berkeliling dunia untuk mencari negara yang paling membahagiakan, singgah di Bhutan. Sebuah negeri di lereng Himalaya yang disebut-sebut punya tingkat Kebahagiaan Bruto tertinggi di dunia.

Karma Ura, pemuda setempat punya ibu yang banyak tahu dan menyebut orang Bhutan tidak sependapat dengan demokrasi. Mereka lebih menyintai raja ketimbang apa yang mereka lihat di televisi. Bahkan ketika sang raja mulai tertarik dengan demokrasi.

“Hal tersebut mungkin tidak baik bagi rakyat. Akan muncul korupsi dan kekerasan. Saya telah melihat televisi dari Nepal dan India, orang-orang melemparkan batu kepada polisi, dan polisi menembaki orang dan melemparkan gas air mata. Tidak ada yang produktif, tidak ada yang baik, yang akan datang dari demokrasi ini,” kata Nyonya Ura.

Cerita ini sekadar membuktikan bahwa demokrasi adalah proposal, dan ia bisa dilompati ketika rakyat sudah bahagia. Untuk ukuran Bhutan, sebagai negara terakhir di dunia yang mendapatkan televisi (1999), ini kedengarannya cukup absurd. Tapi itu adalah fakta. Negeri ini adalah Shangri – La dalam buku Lost Horizon, yang memenuhi hampir semua imajinasi klasik tentang surga.

Kalau tidak penting-penting amat, orang Bhutan ingin menetap selamanya di “surga” mereka. Tak ingin keluar barang sesaat. Bandingkan dengan rezim diktator komunis di Korea Utara yang memperlakukan rakyatnya sebagai benda yang tak punya saraf bahagia. Rakyatnya ingin keluar setiap saat. Setidaknya itu yang dialami Hyeonseo Lee, yang berhasil lolos menjadi pengungsi di China dan menceritakan kisah horornya di Ted Talk.

Mari beralih ke Qatar, negara yang dimandikan oleh Dolar dalam empat dekade. Mereka mambangun surga modern di bumi. Apa yang murah di Qatar? Kita bicara tentang sebatang pena berlian seharga 2 miliar yang mereka perlakukan seperti pena plastik.

Qatar adalah sebuah negeri pemenang lotere di bumi, limpahan kekayaan itu datang mendadak dalam 40 tahun ke belakang, berkat minyak dan gas. Tercatat sebagai negara paling bahagia di dunia.

Mereka mengendarai Rolls Royce atau Marcedes tanpa takut rugi. Dengan istilah vehicle veritas (kebenaran di dalam kenderaan), barang mewah itu berfungsi untuk balapan. Kata Eric, orang Qatar paling suka kebut-kebutan di jalan. Risiko kecelakaan atau mobil penyok sama ringannya dengan mengganti kotak tisu.

Lalu di mana posisi demokrasi di sini. Mereka tidak membicarakannya, karena demokrasi berada di luar kosa kata menyangkut uang dan previlese. Mereka di bawah monarki absolut. Saya ulangi di bawah monarki absolut. Biarkan raja atau emir dengan maha kemewahannya, dan rakyat sibuk dengan kekayaan mereka sendiri. Rakyat yang tidak kaya akan mendapat fasilitas setaraf orang kaya dari negara. Di negara miskin, monarki absolut akan diperangi sampai mati oleh pedang panjang demokrasi.

Kita selalu bicara Pancasila, demokrasi dan NKRI seperti pendongeng, sekadar ingin menguncinya menjadi sesuatu yang sakral di atas permukaan, tapi tak menyelami esensinya. Tak mempertanyakan fungsinya. Kalau tak ingin disebut sebatas perisai rezim.

Demokrasi dilahirkan oleh pikiran-pikiran suci untuk melepaskan rakyat dari belenggu. Belenggu itu seperti frasa yang sering diulang Bung Karno “exploitation de l’homme par l’homme atau eksploitasi manusia atas manusia lainnya. Karena tidak ada demokrasi dalam kolonialisme. Lalu adakah demokrasi dalam era neokolonialisme? Ada, tapi keadaannya berbeda.

Abraham Lincoln bersumpah di Gettysburg, “pemerintahan rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat, tidak akan binasa dari bumi”. Inilah jalan lurus untuk membawa utopia ke dalam negara. Tapi itu justru dianggap cara biasa yang tidak dipedulikan oleh orang Bhutan dengan surga klasiknya dan Qatardengan surga ultra modernnya.

Pancasila, demokrasi, dan NKRI hanyalah sebatas gawai, tapi esensi dari itu adalah suasana batin rakyat. Apakah mereka dapat merasa bahagia di negara ini atau tidak. Kita tidak tahu apakah Nyonya Ura juga pernah melihat demokrasi di Indonesia seperti yang ia tonton di Nepal dan India. Jika ia melihatnya, itu akan menambah cerita panjang dan banyak tahunya tentang sisi gelap demokrasi. ~MNT


Comments