Ilustrasi: www.pcquest.com |
Oleh Muhammad Natsir Tahar
Untuk
sampai ke tahap ini, manusia melewati semacam lompatan kuantum. Tidak ada jejak
sejarah yang utuh, kita hanya penyusun puzzle. Dan percikan cahaya terang
datang dari masa purba dalam bentuk revolusi kognitif. Manusia mulai
menciptakan bahasa dan mengukir di atas batu. Tapi itu tidak berarti apa-apa,
sampai ditemukannya api.
Api
adalah suatu megatrend global zaman Pleistosen.
Tidak ada yang tidak selesai dengan api. Seluruh hutan otomatis berada dalam
kendali manusia. Semua raja rimba telah dipecat, termasuk gajah purba yang
paling disegani atau singa bergigi pedang yang paling mematikan.
Sapiens
sebagai moyang manusia mengintip bagaimana api dipercikkan dari batu oleh
Neanderthal, suatu spesies purba yang amat mirip manusia. Neanderthal lebih
dulu cerdas dengan volume otak 325 sentimeter kubik lebih besar dari kita.
Neanderthal
dikenal cerdas tapi tidak selicik Sapiens. Jurnal Scientific Reports mengungkap
bahwa Neanderthal menggunakan alat batu untuk membuat percikan api sejak 50.000
tahun lalu. Dalam Mausteriuan (suatu tradisi menciptakan
alat-alat khas Neanderthal) mereka merancang gadget berupa batu yang bisa
memercikkan api dengan cepat.
Sayangnya di tangan makhluk gua ini, alat tersebut hanya bersifat trend, bukan megatrend. Megatrend adalah suatu perubahan multidimensi berskala
besar yang dapat dilakukan oleh manusia. Begitu mengenggam api, manusia tidak
hanya diperbincangkan oleh sebelantara rimba sebagai makhluk tegak yang bisa
bicara, tapi juga predator dengan bunga merah menyala.
Dengan api pula manusia dapat mengusir dewa Hefaistos
yang dalam mitologi Yunani dikenal sebagai ahli teknologi, pandai besi,
pengrajin, pemahat, logam, metalurgi, api, dan gunung berapi.
Dengan
api, manusia melakukan pengusiran di lembah, perbukitan dan sepanjang bibir
pantai. Api adalah pembuktian jejak otak reptil manusia yang cemas, tidak
bijaksana dan fokus pada teritorial. Dengan api pula manusia membakar kota-kota
dan buku-buku.
Dengan
otak reptilnya Julius Caesar membakar perpustakaan Aleksandria, Nero membakar
Roma dan Hulagu
Khan membakar di Bagdad. Para pemimpin dunia modern yang berotak reptil, akan
banyak berbicara tentang senjata nuklir dan pembakaran kota-kota dalam kendali
jarak jauh.
Api
adalah suatu megatrend yang telah mencapai lapisan teratas penciptaannya dalam
bentuk energi elektrifikasi yang mengantarkan kita untuk memenuhi keriangan era
digital. Suatu megatrend dalam ciri khasnya yang pelan kini ingin melakukan lompatan
kuantum berikutnya. COVID-19 adalah trigger untuk memenuhi
takdir teknologi 4.0 dengan sangat masif.
Terdapat
enam megatrend global yang akan dan sedang mendatangi manusia seperti yang
pernah dituturkan Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang P.S. Brodjonegoro. Pertama, megatrend demografi. Ditandai dengan semakin
tingginya migrasi antar negara (borderless society). Kedua,
megatrend urbanisasi. Pada 2050, PBB memperkirakan sekitar 65 persen penduduk
dunia akan tinggal di perkotaan dengan 95 persen pertambahannya terjadi
di emerging economies.
Ketiga,
megatrend perdagangan internasional. Kawasan Asia Pasifik diyakini tetap mampu
menjadi poros perdagangan dan investasi dunia. Keempat, megatrend
kemunculan kelas menengah di emerging market economies (EMEs)
di kawasan Asia dan Amerika Latin. Kelima, megatrend dalam persaingan sumber
daya alam (SDA) dan geostrategis. Keenam, revolusi industri yang sedang
memasuki fase Industri 4.0.
Digitalisasi telah dipacu oleh revolusi industri 4.0 di
mana kecerdasan artifisial, big data dan analytics,
internet of things (IoT), dan komputasi awan mendominasi transformasi
digital hingga 2050. Penguncian sosial secara global sebagai dampak COVID-19
membuat semua orang harus terdigitalisasi.
Inilah suatu megatrend yang bergerak secara evolusi
menjadi revolusi. Sebelumnya ia dengan pelan mendisrupsi banyak bidang.
Terobosan digital semakin mengganggu semua sektor seperti layanan keuangan
(misalnya Fintech dengan platform P2P), crowdfunding ekuitas,
sistem pembayaran daring, cryptocurrency, dan blockchain.
Dan sekarang semua sektor harus dengan cepat
terdigitalisasi. Bila COVID-19 akhirnya tamat, suatu preseden era 4.0 telah
tercipta. Kita tinggal memilih apakah tetap terdigitalisasi atau kembali ke
periode manual.
Selidik
punya selidik, mengapa si cerdas Neanderthal punah padahal Sapiens tidak
membakar penemunya. Para ahli berpendapat, periode dingin maksimal yang menerpa
Eropa pada 40.000 tahun lalu menjadi faktor penting yang membuat kurangnya
populasi Neanderthal hingga punah.
Neanderthal
pada zamannya terlalu cerdas untuk menciptakan alat-alat, dan menganggap api
bukanlah temuan terpenting. Padahal sepanjang terkungkung dalam periode dingin,
api bisa menghangatkan tubuh mereka. Sedangkan Sapiens menjaganya seperti api
olimpiade, mengembangkan unggun menjadi tungku api dan pendiangan sebagai
lambang kemewahan musim dingin hingga abad pertengahan. Kita jangan
seperti Neanderthal. ~MNT
Comments