Sirkuit


Ilustrasi: funnelcockpit.com


Oleh Muhammad Natsir Tahar


Menurut ahli otak, leluhur primitif kita hanya menggunakan fungsi dasar otak mereka untuk agresi, membesarkan anak, rasa takut, seks, dan kemauan untuk mengikuti pemimpin tanpa berpikir. Selanjutnya otak manusia adalah keajaiban.

Bila dinyatakan dalam bit, informasi dalam otak manusia setara dengan 20 juta buku, sama dengan jumlah buku dalam perpustakaan-perpustakaan terbesar di dunia. Pada fase revolusi kognitif, otak manusia melakukan fungsi-fungsi yang lebih tinggi, membaca, menulis dan berbicara.

Charles Sherrington membayangkan bila otak manusia sedang terjaga, korteks otak besar kita akan menyerupai pedang berkilauan yang terdiri atas titik-titik berkelap-kelip secara berirama dengan serentetan bola api yang bergegas ke sana kemari. Ini seolah – olah Galaksi Bima Sakti yang masuk dalam tarian kosmik. Korteks pun segera menjadi perkakas tenun ajaib tempat jutaan pintalan yang berkelap-kelip.

Begitu pula ketika kita tertidur, otak tetap berdegup, dengan urusan kehidupan yang rumit, mimpi dan pemecahan masalah ada di sana dalam ratusan impuls eletrokimia. Kata Carl Sagan, terdapat banyak lembah dalam pegunungan akal, dan kelokan-kelokan. Neurokimia sangatlah sibuk, lebih mengagumkan dari sirkuit apapun buatan manusia.

Otak kita membangun arsitektur kesadaran yang elegan. Kesadaran kita adalah titik permulaan perjalanan kosmik manusia, ia adalah pembeda spesies kita dan letak kemanusiaan kita. Sampai belakangan ini, secara mengejutkan ketika misalnya futurologist dunia, Ian Pearson, memprediksi bahwa kesadaran manusia nantinya bisa disalin di memori eksternal.

Melalui tulisannya yang diekspose pada 15 Juli 2018 dengan judul When Your Electronically Immortal, Will You Still Own Your Own Mind?, Pearson menjelaskan bagaimana kesadaran manusia bisa terhubung dengan teknologi eksternal. Hingga futurolog lain membayangkan, suatu hari kelak manusia dapat menyaksikan pemakaman dirinya sendiri dengan tubuh baru.

Ilmu pengetahuan dan teknologi memiliki sifat dasar untuk menghabisi historia agama dan dogma. Di sini kita perlu bertahan pada kesadaran akal untuk menghambat kelancangan teknologi yang terus berusaha mengutak-atik domain transedental kita.

Awalnya karena lelah berpikir dan mengingat-ingat, manusia mulai menempatkan ingatan di luar dirinya. Kitalah satu-satunya spesies di dunia ini yang menyimpan memori di luar otak dan gen. Kita meletakkannya di atas batu prasasti, di kulit pohon dan hewan, di kertas paphyrus, tablet tanah liat, dan pada akhirnya tumpukan buku di  perpustakaan yang ruang penyimpanannya selalu lebih kecil dari kapasitas otak kita.

Peletakan memori ini kita kenal dengan istilah menulis. Penemuan tulisan dan kerja menulis adalah konstalasi kosmos yang menghubungkan antarzaman, memutuskan belenggu antargaris waktu dan setiap zona disatukan dengan acak.

Sejak awal milenium 2000 kita telah melompat ke dunia digital dalam keterhubungan tanpa batas. Dunia virtual adalah dunia kita abad ini. Dunia ketika buku-buku tercetak bersaing dengan buku-buku digital yang mampu memutuskan jarak tempuh. Namun buku-buku tercetak tetaplah keagungan peradaban akal, seperti Eropa yang tetap mempertahankan bangunan-bangunan tua era Victoria dan Tudor.

Menjadi pertanyaan, apakah cara pandang milenial akan tetap sama. Mereka berada di estafet terakhir ketakjuban abad ini, suatu revolusi gegas yang melejit dalam hitungan hari. Urusan-urasan fisik mulai ditinggalkan, mereka menetap lebih lama di ruang maya.

Peletakan memori kepada medium lainnya seperti buku, dan kini perpustakaan digital yang maha luas telah usai dilakukan. Satu lagi, kita tidak hanya meletakkan, tapi membiarkan proses berpikir berada di luar otak. Taruhlah teknologi usang pertama yang kita kenal adalah mesin hitung atau kalkulator.

Kini dengan cepat kita mengenal kecerdasan buatan, otomasi dan robotika. Mereka melakukan pekerjaan jauh lebih baik dari pada manusia. Ancaman akan datang dari kecerdasan buatan atau artifisial yang kita sebut AI (Artificial Intelegence). Mereka mampu berpikir seperti otak kita, dan mampu memanggil memori dalam kecepatan kilat. Kita akan semakin jauh tertinggal, bila kemudian kapitalisme masa depan makin mengabaikan humanisme.

Satu-satunya yang tidak dimiliki AI saat ini adalah kesadaran. Ia adalah Pedang Berkilauan kita, tarian kosmik kita, dan sejarah kemanusiaan kita nan elegan. Kesadaran adalah karunia Tuhan yang harus kita indahkan untuk mempertahankan eksistensi kita di bumi. Tentunya dengan dampingan iman. ~MNT

Comments