Sungai Waktu


Ilustrasi: fsb.zobj.net


Oleh Muhammad Natsir Tahar

Bahwa semesta bukanlah fakta statis yang tergelimpang dalam hampa, tapi suatu struktur peristiwa yang terus menerus mengalir. Kita tidak dapat melihat untuk kedua kalinya ke sungai yang sama. Jika itu terjadi maka kita dan sungai -keduanya– telah berubah. Sungai ke muara dan kita menua.

Sungai adalah perwakilan klise atas waktu. Kita dihanyutkan di sungai itu. Kita datang dari Tuhan, tanpa papan pengumuman akan berakhir di mana. Sungai ini di mana ujungnya. Ruh Tuhan ditiupkan kepada kita, dari sisi terdalam kita ada kerinduan untuk kembali. Kadang-kadang dan terlalu sering, hedonisme mengalihkan pembicaraan tentang jalan pulang itu.

Aku telah mencampakkan tanda tanya ke keranjang sampah. Di sajadahku, seluruh tetes wudhukku adalah tanda seru. Aku telah berhenti menggali waktu, dan menguburkan mengapaku. Di pintu kemana aku akan pergi, di jalan kemana aku akan pulang, aku sedang menambal lubang-lubang dengan sisa kerikil doa. ___ Tebing Waktu (Rida K Liamsi) dalam buku puisi Sungai Rindu (Sagang, 2020).

Puisi yang terlalu hebat untuk menjadi inspirasi dari tulisan ini. Saya tidak mampu mewakili seorang Rida dari percakapan batinnya yang penuh. Suatu dialektika sufisme tentang pendakian Tuhan, dan memulai ketundukan atas waktu.

Bagi Heidegger, waktu adalah horizon manusia, ia terlempar di dunia (Dasein). Kita dapat melihat waktu tidak terlempar begitu saja. Waktu adalah subjektifitas dengan tanda tanya. Manusia membangun sejarahnya sendiri-sendiri dari benturan-benturan eksistensial menuju tebing waktu.

Agustinus mencoba membagi waktu menjadi objektif dan subjektif. Artinya ada waktu mandiri di luar manusia. Hal ini dibantah Immanuel Kant, karena cepat atau lambat adalah soal persepsi individu.

Carlo Rovelli, seorang fisikawan teoretis asal Italia menyebut waktu sebagai ilusi. Tidak ada variabel tunggal yang mampu menggambarkan jalannya waktu. Konsep mengenai lalu, depan, dan kini hanyalah persepsi yang muncul dari pengalaman manusia ketika berinteraksi dengan sekitarnya.

Cara pandang subjektif kita akan jalannya waktu tidak serta merta dapat disamakan dengan dunia fisik sesungguhnya. Einstein telah menyebut ini sebagai delusi optik.

Dalam surat Al-Kahfi (18): 19 dinyatakan: Dan berkata salah seorang dari mereka, “Berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi?” Mereka menjawab, “Kami  tinggal (di bumi) sehari atau setengah hari …”

Ashhabul-Kahfi yang ditidurkan Allah selama tiga ratus tahun lebih, menduga bahwa mereka hanya berada di dalam gua selama sehari atau kurang, Mereka berkata, “Kami berada (di sini) sehari atau setengah hari.” (QS Al-Kahf (18): 19).

Alquran lebih selalu paralel dengan sains. Bahwa waktu adalah relativitas. Jangankan hari ini dan setelah kiamat, antarplanet saja _karena sedemikian kecilnya dapat disebut sebagai antardebu kosmik_ konsep waktu telah berbeda.

Masa 25 tahun di bumi hanya dihitung selama satu bulan enam hari di Pluto, tapi di Merkurius mencapai 103 tahun lewat enam bulan. Satu tahun di Mars lamanya sama dengan 687 hari atau 1,88 tahun bagi Bumi. Satu tahun di Saturnus durasinya sama dengan 29 tahun 5 bulan. Lalu satu hari di Venus lamanya adalah 243 hari waktu Bumi.

Demikian seterusnya dan seterusnya, belum lagi bila kita menghitungnya dari tata surya matahari (bintang) lain. Bagaimana dengan galaksi lain, Andromeda, Black Eye, Centaurus dan seakan nirbatas sampai miliaran yang di antaranya berjarak miliaran tahun cahaya pula.

Kecepatan adalah jarak dibagi waktu dan menurut Albert Einstein, setelah sejajar dengan kecepatan cahaya, itu akan menjadi kecepatan yang terakhir. Suatu kecepatan yang setara dengan gerak malaikat. Melewati satu perjalanan relativistik menunggangi cahaya maka di sana jarum jam akan berhenti.

Einstein memungkinkan, dalam beberapa jam perjalanan antariksa maha cepat, seseorang akan kembali ke bumi dan terheran melihat orang-orang yang ditinggalkan telah menua.

Kita telah lama dihanyutkan di sungai waktu. Tebing itu telah dekat atau menunda, tidak lebih penting daripada menambal lubang-lubang dari sisa kerikil doa. Sebab kematian bukan hanya pencapaian, namun juga akumulasi pengalaman otentik manusia. Kita perlu menyusun penuh puzzle yang tertunda.

Ketika tebing waktu menjelma menjadi musang malam yang mengendap-endap, katakan saja: aku adalah bayi Pluto yang sedang berproses menjadi versi terbaikku. I am becoming the best version of my self. ~MNT



Comments