Deja Vu



Sketsa Deja Vu: befonts.com


Oleh Muhammad Natsir Tahar

Dari penilitian, 70 persen dari kita pernah merasa deja vu. Perasaan melihat pengulangan peristiwa dari masa lalu. Istilah Deja vu diungkap pertama sekali pada   1876 oleh filsuf Perancis Emile Boirac. Hingga sekarang deja vu masih menjadi enigma, dan sains dalam silang pendapat.

Kita cek literatur: istilah deja vu berasal dari bahasa Prancis, deja: sudah, pernah, dan vu dari kata vior: melihat, yang berarti pernah melihat. Istilah lain deja vu adalah paramnesia, dari bahasa Yunani, para: sejarah dan mnimi: ingatan.

Ada yang menyebut deja vu sebagai kenangan palsu menurut psikolog Valerie F. Reyna, fantasi masa lalu kata Sigmud Freud, adanya fenomena dunia paralel sebut Max Regmark, seorang profesor fisika dan astronomi. Di pihak lain deja vu dikaitkan dengan reinkarnasi dan indra keenam.

Dipungut dari National Geographic, pada 2006, beberapa ilmuwan di Leeds Memory Group mengatakan bahwa mereka berhasil menciptakan sensasi serupa di laboratorium. Mereka menggunakan pendekatan hipnosis untuk memicu bagian dari proses pengenalan otak.
Dasar teori yang dipakai adalah dua proses penting terjadi di dalam otak ketika manusia mencoba mengenali sesuatu yang sudah familiar.

Sebagai proses awal, otak akan berusaha mencari file lama di dalam ingatan untuk melihat apakah kita pernah merasakan kejadian tersebut, kemudian jika otak menemukan ingatan yang sesuai, sebuah area terpisah dari otak akan mengindentifikasinya sebagai sesuatu yang familiar. Dalam deja vu, bagian kedua dari proses ini bisa dipicu secara tak sengaja.

Lain lagi O’Connor dan tim di University of St Andrews, Inggris. Mereka berusaha menciptakan sensasi deja vu pada partisipan dengan cara menanamkan memori palsu. Tim kemudian memindai otak partisipan yang mengalami deja vu tersebut menggunakan fMRI.
Penemuan ini juga menunjukkan bahwa deja vu merupakan tanda bahwa sistem pengecek memori pada otak bekerja dengan baik.

Kita menyebut sesuatu yang pernah dilihat sebagai deja vu bila tidak yakin hal itu pernah kita alami sebelumnya. Ilmuan melakukan serangkaian simulasi, sebatas pada tahap adanya sensasi keserupaan dan memori yang tersembunyi. Namun tak mampu memverifikasi apakah kita pernah mengalami hal yang berulang dari masa lalu.

Saya ingin mengatakan bahwa otak dan seluruh kenangan kita amat rapuh dan mudah direkayasa bahkan nantinya bisa di copy paste. Padahal di sanalah letak esensi dan eksistensi kita. Di sana terletak kesombongan kita, ego kita, ideologi, dan Tuhan.  Bayangkan di mana kita ketika kita menjadi tuna grahita yang sedang diikat di rumah sakit jiwa?

Kepala kita adalah Big Data biologis atau gudang memori hidup yang menyerap kenangan dari lingkungan selama hidup dan diturunkan secara sistem algoritma oleh pendahulu. Tapi benteng pertahanan kesadaran kita demikian lunglai, ilmu hipnotis dapat menginterupsi kesadaran manusia atau memerankan dirinya sebagai orang lain.

Secara teknis, kepala yang terbentur sangat keras, akan kehilangan seluruh memori yang disimpan selama puluhan tahun. Kasus-kasus psikologis seperti amnesia, halusinasi, dan gila adalah keadaan ketika seseorang sedang tidak memiliki dirinya. Ide ini sebenarnya cukup bagus bagi upaya untuk membungkam upaya pemujaan eksistensi dan keakuan yang berlebihan.

Terjadi pada motivator, penulis dan pesepak bola bernama Scott Bolzan, setelah terpeleset di kamar mandi, ia kehilangan seluruh kecerdasan dan talentanya, bahkan ingatan tentang isterinya. Lalu ia menjadi manusia baru dan menulis buku berjudul My Life: Deleted.

Tidak seperti memori dalam piranti lunak yang bisa disalin di memori eksternal atau digantung di awan (cloud storage), isi otak kita adalah satu-satunya. Ketika ingatan kita error maka kita setara seonggok CPU rusak. Bahkan mungkin kita sudah dihapus dalam statistik Tuhan, buktinya orang gila tidak dicatat sebagai pendosa. ~MNT




Comments