Diorama

 

Ilustrasi: mymodernmet.com


 Oleh Muhammad Natsir Tahar

Pancasila dapat dimetaforakan sebagai lima orang penting yang duduk semeja. Mula sekali kelimanya keras kepala, mudah sekali bertengkar. Mereka turun dari nenek moyang berbeda yang kukuh ajaran asalinya. Sadar sedang berada di rumah besar bernama Indonesia, mereka berbisik-bisik. Pertengkaran tak usai. Diskusi tak selesai.

Pancasila sudah final, seru para penghapalnya. Pancasila memang final sebagai Dasar Negara, tapi tidak pada esensinya. Pancasila adalah suatu dialektika, menuju titian sunyi utopia. Seperti niskala di pelupuk.

Kelima butir Pancasila dapat hidup serumah karena beberapa syaraf mereka harus dilumpuhkan. Jika masing – masing tetap kuat dan bersuara lantang, mereka akan terus bergelut dengan suara gaduh. Sedang negeri ini butuh kesenyapan, demi meneruskan tongkat estafet peradaban.

Bila masing – masing sila dikeraskan, itu akan jadi akar serabut bagi konflik multi dimensi. Sehingga setiap sila dilengkapi penangkal di ujung kalimat. Pancasila kemudian menjadi pusaka yang dilap-lap, dalam suara – suara lindap yang didiktekan. Menjadi mono, menjadi hapalan dalam tamadun pop.

Sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa. Ia memiliki sensor yang ketat terhadap kemanusiaan. Aturan langit bersifat rigid, ayat-ayat tidak bisa dikompromikan. Penganut sila pertama yang taat, akan kukuh digaris dogma, tidak ada hukum selain hukum langit sebagaimana dirisalahkan para nabi dan manuskrip teologis. Agama –agama pagan dan antropologis mungkin demikian adanya, ketika Tuhan didaulat sebagai Sang Pengatur.

Jika kemudian sang theis takluk kepada aturan Negara, maka itu adalah sebentuk pengorbanan, suatu ketundukan demi kolektivitas. Terjadi pergeseran antara klausa hukum dogmatik ke dalam ruang mitos bersama, kecuali ada kekosongan dalam hukum Tuhan.

Sila Kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Secara historis adalah koreksi total terhadap hegemoni agama. Kemanusiaan atau humanisme, adalah antitesa dan aturan Tuhan yang pernah digenggam oleh monarki absolut, yang lebih selalu berada di luar kepentingan Tuhan.

Humanisme menjadi ujung bagi pembebasan manusia dari semua rantai pengatur yang mengikat kemanusiaan. Di zaman renaisans, humanisme tampak mesra dengan perangkat – perangkat religi, belakangan semakin lepas, dalam suatu pranata eksistensialisme, bersama mekarnya globalisasi, kapitalisme dan revolusi teknologi.

Humanisme memiliki sifat keakuan yang kuat, didukung oleh empirisme yang gagal menemukan Tuhan dalam sepak terjang laboratorium ilmu. Maka sila ketuhanan dan sila kemanusiaan berpotensi untuk saling mengusir.

Sila Ketiga, Persatuan Indonesia. Sila ini berpotensi membatalkan sila pertama dan menjinakkan sila kemanusiaan. Tidak ada satu agama pun bisa disatukan, jika ada yang mengatakan itu, mereka adalah agnostik, atau atheis yang mengendap-endap. Terhadap sila persatuan, penganut agama harus menanggalkan ajaran Tuhan masing-masing yang bersilang sengketa.

Sila persatuan menyerupai kontrak sosial  Thomas HobbesHobbes menjelaskan bahwa kontrak sosial adalah perjanjian dan kesepakatan antar individu untuk melepaskan hak-hak individu mereka dan selanjutnya tunduk kepada negara. Persatuan dapat terjadi bila altruisme mampu mengalahkan egoisme dalam kemanusiaan.

Sila Keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan . Ini adalah sila yang berhulu kepada filsafat demokrasi. Demokrasi adalah ajaran bumi, manifestasi dari kegelisahan akan eksistensi kemanusiaan yang diganyang feodalisme dan diktator dunia.

Sila ini tidak mampu menjawab demokrasi secara utuh, untuk kemudian  bertumpu pada utilitarianisme. Konsep perwakilan dalam praktiknya, hanya menggeser kedaulatan rakyat menjadi kedaulatan oligarki. Sila keempat harus dibayar mahal dengan uang dan keletihan, sampai ada yang menemukan formula jitu.

Sila Kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Ini adalah mimpi, imaji utopia, dan sering menjadi dusta. Kita yang mengagung-agungkan Pancasila, hanyalah seorang degil yang berdusta, bila tak mampu menjalankan sila ini. Jika sila kemanusiaan dapat mengandung anasir kapitalisme, sila ini bersifat sosialisme. Hampir serupa dengan Marxisme.

Soekarno mungkin diilhami seorang petani Marhain lalu melahirkan Marhainisme, tapi dia juga seorang pembaca Karl Marx. Ada yang salah? Tentu tidak, sepanjang sosialisme dapat saling mengisi dengan sila kemanusiaan, yang memberi peluang kepada tiap individu untuk mencapai derajat tertinggi kemanusiaannya. Melampaui konsep keadilan dengan satu alat ukur, atau cara kacamata kuda.

Pancasila menjadi semacam diorama, yang dapat diglorifikasikan bahwa ia digali dari bumi Indonesia. Sedangkan akar-akar dalam setiap sila, tidak luput dari isme – isme global, tidak hanya bumi tapi juga langit.

Lima sila duduk semeja, dan debat tak usai, sebab mereka turun dari nenek moyang yang berbeda. Rupanya sila kemanusiaan dan keadilan sosial kebanyakan minum. Dalam mabuk berat mereka lepas kendali. Salah satunya bergumam, “Dengar tuan Sila Pertama, Tuhan tidak ada. Lalu untuk apa Anda masih duduk semeja dengan kami?”. ~MNT

 

Comments