Denial

 

Photo by Oscar Keys on Unsplash


Oleh
Muhammad Natsir Tahar

Cukup menjadi manusia untuk melihat benar dan salah dalam percakapan bernegara. Siapapun presidennya. Orang yang pikirannya terpenjara akan ambigu, dibatasi oleh jenama yang melekat pada persona dirinya, meringkuk abadi di dalam kotak sempit dan membuat penyangkalan atas fakta.

Sekarang bola panas itu bernama Buzzer Politik Bayaran. Secara teknis mereka tidak perlu disalahkan. Mereka hanya oportunis yang butuh makan dengan fasilitas sultan. Mereka punya alasan logis untuk melakukan hal itu. Lalu kita apa?

Sebagian kita jadi denial, menyangkal fakta hanya karena satu frame dengan kekuasaan. Tidak lebih dari itu. Kecuali kita dalam lingkaran oligarki atau tentakel yang mengisap manisnya gula-gula kekuasaan, sehingga menjadi tampak logis secara pragmatik. Siapa pun presidennya, kalau salah dikritik, kalau benar diapresiasi. Di mana sulitnya?

Rakyat dalam demokrasi itu dituntut tidak hanya bebas secara fisik tapi juga pikiran. Manusia paripurna, ubermensch yang disebut Nietzsche adalah orang yang pikirannya tidak terkungkung dan sadar akan derajat personanya.

Kita hanya  rakyat, __saya membuat coretan untuk menegaskan__ begitu kita memilih demokrasi, kata hanya diganti menjadi adalah. Ini adalah pertempuran antara langit dan bumi. Dalam kancah demokrasi, masyarakat adalah tuan dan puan. Demokrasi adalah seruan bumi, untuk membungkam kekuasaan langit.

Dahulu kala, para kaisar mengambil legitimasi langit untuk menindas rakyat. Bumi pun melakukan perlawanan, tidak hanya semisal penyerbuan Bastille di Prancis, amuk Hang Jebat, atau penikaman Sultan Mahmud, tapi mencoret para feodalis sebagai pewaris langit. Tidak ada lagi monarki absolut yang menindas.

Klausul baru pun diterbitkan. Vox populi, vox dei, suara rakyat (kini) adalah suara Tuhan, kata Robert Ferguson. Bukan lagi kaisar yang berhak membuat seruan atas nama langit, tapi dan seharusnya adalah rakyat. Secara teknis, raja–raja hidup nikmat dari rakyat lewat cukai dan upeti, lalu di mana logikanya seorang penguasa harus dijunjung oleh rakyat, yang telah memberi mereka makan besar.

Inilah fakta, inilah demokrasi yang sedang kita jalani, mau tidak mau. Atau kemudian sejarah akan menuduh kita sebagai inferior feodalis yang berpura-pura, sebagai rakyat tidak pernah sadar tentang harkat dirinya. Kufur sepanjang hayat.

Epos Melayu telah menawarkan rekonsiliasi purbawi, 1. raja adil raja disembah dan 2. raja zalim raja disanggah. Ini adalah proposal yang cerdas pada zamannya, tapi lihat lah, kita hampir tidak melakukan yang kedua. Kita denial. Saya tidak menemukan landasan logis mengapa ada orang yang melakukan ini, selogis yang dilakukan para buzzer bayaran.

Dalam logika demokrasi, pemimpin bukan untuk dikultuskan. Tapi ditempatkan pada posisinya untuk mengemban tugas dari rakyat. Pemimpin telah dimuliakan oleh singgasana dan fasilitas yang dimilikinya. Itu semua ditebus dengan uang rakyat di dalam pundi Negara. Rakyat telah membayar kontan, giliran pemimpin mencicilnya dengan unjuk prestasi. Bukan mendiamkan korupsi, atau membagi-bagi jatah kolusi.

Tak perlu menjadi anggota partai oposan untuk tetap kritis, cukuplah dengan hanya menjadi rakyat. Cukup hanya menjadi manusia. Demokrasi tak menghendaki perbudakan dalam politik, lalu mengapa kita menawarkan diri.

Pemimpin tidak perlu denial, ketika performanya turun atau janji-janji kampanye yang selalu basi. Yang perlu dilakukan adalah perbaikan. Rakyat hanya ingin melihat itu. Tak usah bertabiat kanak – kanak dengan menyewa buzzer, apalagi seandainya dibayar dengan uang rakyat. Rakyat tidak membeli peluru, untuk ditembakkan pada dirinya. Pemerintah sibuk memenjarakan ujian kebencian ketimbang menguji tuduhan. Sampai kapan terus denial dan lari dari substansi.

Oligarki telah berhasil menjungkangkan visi kita untuk membuat negara terus membaik. Saya menjadi curiga apakah kita punya visi? Apakah kita punya gambaran besar, akan jadi apa negara ini ke depan? Atau kita hanya seekor hamster yang terperangkap dalam tubuh manusia, untuk menjalankan pengembaraan semu di lingkaran roda masing–masing.

Dua tahun dari sekarang kita kembali masuk tahun politik berikutnya. Sebuah siklus roda hamster demokrasi yang tidak membawa kita kemana-mana. Sistem elektoral seolah selamanya akan menjadi sisi gelap demokrasi. Para oligarki mempersempit gelanggang pertempuran antar mereka dengan pagar pembatas bernama presidential threshold. Calon presiden ke depan tidak akan jauh dari asuhan oligarki, termasuk anak, menantu, kemenakan, sepupu jauh, atau bila perlu orang-orangan sawah, asal rakyat suka. Asal elektabilitasnya tinggi.

Artinya Anda boleh setulus nabi, sebaik malaikat atau sehebat Abraham Lincoln, tapi jika tidak memenuhi ambang batas, berdoalah agar yang terpilih berikutnya bukan yang terburuk, atau paling tidak dia yang paling tahan terhadap godaan iblis oligarki. "Malaikat masuk ke sistem Indonesia pun bisa jadi iblis, kata Mahfud MD, dan kita harus percaya, karena Mahfud bukan sembarang orang. Mahfud benar!.

"Apa yang sudah disepakati secara politik, jangan pernah diperdebatkan secara estetis," sebut Soekarno. Dengan demikian, bila kita sudah permisif dengan politik, maka pejamkan mata terhadap politik dinasti abadi, feodalisme, dan kawanan oligarki yang berajojing dengan duit politik yang selalu terselip di antara jejari mereka. Meskipun itu tak pernah elok, tak estetis, tidak elegan. Denial.! ~MNT

Comments