Cyborg

 


Cyborg: vizyonergenc.com


Oleh Muhammad Natsir Tahar

Sebagai bangsa yang terimpit di antara dua raksasa, kita mestinya melompat bukan berbual. Raksasa pertama adalah kolonial-imperialisme yang didahului monarki absolut, yang kedua yang di depan kita adalah industri robotika super cerdas, yang akan mengambil alih tugas-tugas kita sekejap lagi.

Lebih dari tujuh dekade, kita berada dalam fase kemerdekaan teritorial, dengan stigma Negara Ketiga. Usai Perang Dunia II, hampir semua negara berada di titik nol, tapi agar lebih adil kita mengambil garis start dengan sesama Negara Ketiga saja, misalnya Singapura, Korea Selatan, Tiongkok, dan Taiwan yang telah maju.

Atau bandingkan di antara negara pemenang lotre di bumi, yang melimpah sumber daya alamnya, negara-negara petro dolar, Saudi, Uni Emirat Arab, Kuwait, Qatar, Brunai, dkk, apa kurangnya sumber daya alam kita, apa kurang terjajahnya mereka di masa lalu?

Kita yang paling melimpah dan paling beraneka isi perut buminya, dan apa yang di atas bumi, lautan dan hutan, tapi mereka justru yang menjadi negeri para sultan. Sedang kita tetap hanyut dalam arus deras kemiskinan. Bila sekarang tampak baik-baik saja, itu hanya soal seni berkawan dengan cicilan bulanan.

Dalam sebentuk kemerdekaan secara de jure, kita masih dalam tancapan kuku para elite global, yang mengendalikan sistem moneter dunia, yang secara klasik mengisap sumber daya alam kita sekaligus menukarnya dengan belitan utang. Sebagian elite kita dari segala rezim, sekilas tampak seperti teman, karena kulit yang sama cokelat. Mereka menabur mitos-mitos, bahwa kekayaan bumi tidak akan pernah membuat negeri ini kaya.

Tanggal 11 Mei 1997, adalah hari paling memilukan _atau hari pertolongan_ bagi pemujaan otak manusia. Sebuah komputer bernama Deep Blue telah dilahirkan, dan langsung menekuk kampiun catur dunia Kasparov. Deep Blue terus tumbuh dewasa dalam ranggi teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI).

Kini dan sebentar lagi, hampir tidak ada yang tidak bisa dilakukan AI. Jangankan untuk mengambil semua profesi kita yang remeh, ia bisa melakukan sesuatu yang tak terlintas dalam imaji kita. Anda butuh komponis klasik sekelas Mozart, mereka tinggal mencetaknya dengan printer 3D, yang di dalam otaknya ditanamkan seluruh kecerdasan Mozart, bahkan dengan sifat dasarnya sebagai mesin yang mampu belajar, ia bisa menyerap Beethoven, Bach atau Vivaldi sekaligus.

Anda rindu dengan Einstein, Gibran, Shakespiere, suatu waktu mereka akan mendatangkannya. Bahkan gabungan dari ketiganya. Apapun yang dapat menggeser eksistensi kemanusiaan kita, akan bisa dilakukan. Ketimbang meratapi kekalahan kita, cukup ambil positifnya demi Negara.

Tentu saja kita sangat butuh presiden, dengan lincah mereka akan mengirimnya asal harganya cocok. Presiden yang tak akan mampu didebat oleh oposisi manapun. Artinya, saatnya kita menyudahi bual-bual tak tentu arah, karena sekejap lagi _bila kita mengizinkan dan seharusnya demikian_ negara ini dapat dikendalikan secara robotik, bukan dari sembarang manusia yang muncul oleh sepotong keberuntungan statistik, yang diproduksi dari kelucuan demokrasi.

Saatnya kita memetik langsung manfaat dari sebuah negara, sebagai lembaga pelayanan publik terbesar, dan mendorong kemakmuran, keamanan, kenyamanan semua anak bangsa, serta dapat mengatasi penaklukan-penaklukan masa depan.

Itu hanya dapat dilakukan oleh negara scientific, negara ilmiah, negara yang bersih dari human error seperti koruptor dengan sistem yang dirancang boros, serta orang-orang malas dan tak punya kapasitas. Negara yang dipimpin oleh seorang CEO robotika, yang di dalamnya disuntikkan seluruh kecerdasan, dan kesempurnaan Deep Blue.

Bila kita masih malu-malu dipimpin oleh sebongkah robot AI, kita bisa berunding dengan bos SpaceX dan Tesla, Elon Musk. Dia sedang asyik dalam laboratorium digitalnya untuk menciptakan Cyborg: manusia dan robot dalam satu tubuh. Dalam kondisi yang lebih sopan yakni dengan menanam chip komputer ke dalam otak manusia. Bayangkan seorang presiden yang ditanamkan sebuah chip komputer di kepalanya.

Dengan demikian masyarakat demokrasi diizinkan untuk tetap berbual dan saling menertawakan secara santai atau cepat-cepat, pada saluran hiburan tertentu di televisi, radio, kanal Youtube, website, dan tentunya seluruh platform media sosial.

Di situ akan tetap dipercakapkan segala bentuk isme, dogma, segala macam teori, mitos-mitos, logika, etika, estetika atau sekadar ingin merayakan ketololan dengan meributkan apa saja. Sepanjang saluran ini tidak menganggu sistem cerdas yang sedang menjalankan negara.

Masyarakat demokrasi diizinkan untuk tetap melaksanakan pemilu, melangsungkan kegenitan politik mereka, sebagai bentuk penyembahan terhadap agama survei elektabilitas. Masyarakat tetap mendapatkan kaos partainya, tetap disiram air saat kampanye. Tetap dapat melakukan transaksi kecil-kecilan dalam seolah-olah pertaruhan lima tahunan, pada saluran yang terpisah dari negara ilmiah.

Rakyat demokrasi tetap dapat menangis terisak bila pujaannya dimenangkan, karena siapapun pemenangnya segera mendapatkan chip super komputer di kepalanya. Akan ada yang bilang, pintar saja tidak cukup, mereka butuh akal budi yang paripurna, baiklah itu hanya soal pengaturan data dan algoritma.

Mengutip Bertrand Russell, demokrasi adalah proses di mana orang-orang memilih seseorang yang kelak akan mereka salahkan. Ini dipastikan tidak lagi terjadi, karena bahkan untuk menertawakan sebuah kalkulator sederhana saja, kita tidak punya alasan. ~MNT

Comments