Etimologi

 

Ilustrasi: orijinculture.com


Oleh Muhammad Natsir Tahar

Menumpang kepada sabda kosmologi, kata seru pertama diucapkan oleh dunia adalah dentuman besar (big bang) dari inti kosmos. Kata seru ini disambut oleh desahan triliunan embrio bintang yang mendidih, serta jeritan api dan meteor yang bertumbukan. Bintang-bintang berlari jauh dari inti kata seru itu (The Expanding Universe), dan memulai bahasa mereka sendiri.

Serpihan-serpihan debu kosmos membuat suara gaduh, saling memecahkan gendang telinga. Mereka mabuk, menyala, membentur, berputar, menyatu lalu membulat. Ditarik oleh gravitasi para bintang, menjadi planet-planet di lintasan orbit. Satu bintang belia yang beruntung adalah matahari, ia menarik bumi ke dalam lingkarannya. Planet ini membiru, dengan mengabaikan kehidupan di semesta lain, di sinilah bahasa-bahasa diucapkan.

Bukan sekejap ini, bahasa membutuhkan 13,5 miliar tahun untuk bisa disampaikan (didesahkan). Bumi tidak memiliki bahasa-bahasa yang bisa ditutur itu. Ada ribuan meteorit dan komet yang menabrak bumi membawa senyawa hidrogen, matahari membantu dengan sinarnya, bumi mengikat dengan airnya. Dari sini, senyawa pembentuk DNA memulai bisik-bisik.

Ikan-ikan purba berbunyi nyaring, kadal-kadal raksasa mengaum, dan mamalia pertama mendengkur. “Saya tidak dapat meragukan bahwa bahasa (manusia) berasal dari imitasi dan modifikasi, dibantu oleh isyarat dan gerakan, terhadap berbagai suara alam, suara binatang lainnya, dan teriakan naluriah manusia sendiri”. — Charles Darwin (1871) dalam The Descent of Man, and Selection in Relation to Sex.

Manusia melewati suatu revolusi kognitif yang mampu memodifikasi isyarat alam dan kebutuhan naluriahnya menjadi tuturan. Nenek moyang bahasa hanya terdiri dari himpunan kata seru tunggal: awas, tolong, lari, ambil, panjat, pukul, petik, sakit, diam, tangkap, dan seterusnya, tanpa konjungsi dan frasa.

Kitab suci menyajikan geneologi dan kronologi kenabian dalam bahasa yang sudah purna. Yang melompati semua proses rumit, untuk mengikat pembacanya pada keseragaman ingatan dan harapan (yang diterjemahkan melalui imaji) episodik (peristiwa) dan semantik (fakta dan pengetahuan).

Pun gulungan-gulungan naskah kuno, tumpukan buku-buku lapuk,  dan apa yang tercetak di atas prasasti, hanyalah celah sempit subyektif tentang aksara dan angka, untuk mewakili bahasa zaman secara berani, ketika tubuh bahasa sejatinya mekar seperti bola salju yang menggelinding liar.

Bahasa menggelinding, namun pecah menjadi serpihan-serpihan ke seluruh lapisan kerak bumi (crust), ia tersangkut di lima benua, berhenti di setiap ceruk. Setiap orang dapat singgah dan pergi, untuk bertukar bahasa. Kita sebagai bangsa Asia mewarisi nenek moyang bahasa rumpun Austronesia. Setidaknya inilah bahan baku bahasa Nusantara.

Perihal Lingua Franca, selain Austronesia sebagai bahan baku, ia tak bisa lepas dari episode global, mulai dari pengaruh Mesir kuno, aneksasi Yunani di periode Helenistik Alexander Agung, kemudian glorifikasi imperium Romawi, lalu Usmani dan Mongolia, berakhir pada era kolonialisasi Eropa. Semua itu telah membentuk bahasa Melayu Lingua Franca, yang kemudian mendapat daulat sebagai Bahasa Indonesia.

Bila hari ini ada semacam fobia terhadap penggunaan Bahasa Inggris di ruang publik, hanya ada dua kemungkinan: ahistoris dan tak menguasai etimologi setiap kata. Bahasa Inggris sebagai Lingua Franca dunia, adalah jenis bahasa paling rakus, tidak peduli apakah mereka mendapatkannya dari Yunani, Latin, Prancis, Jerman, Arab, India, Melayu, dan orang-orang telah terlanjur berpikir itu adalah kosa kata Inggris.

Bahasa Melayu sesuai tabiat Lingua Franca, tergolong rakus dan sangat moderat, sampai ia kemudian melewati kanal sempit para otoritas penyusun KBBI. Tubuh bahasa kita masih terbilang ceking dengan hanya 127.000 kosakata pada kemampuan menyerap hanya 1.000 kosakata baru per tahun. Bandingkan dengan bahasa Inggris yang sudah mencapai lebih satu juta kosakata dengan pertambahan 8.500 kata per tahun. 

Saya tidak mendapat landasan logis mengapa bahasa Inggris dipukul, ketika seharusnya dirangkul, mestinya cepat-cepat dimasukkan ke dalam kosakata baru bahasa Indonesia. Kepalang basah, saya mengamati hampir 70 persen bahasa resmi Indonesia diambil dari bahasa Inggris dan asing lainnya tanpa kita menyadarinya. Bahkan kosakata bahasa Inggris itu  tanpa sadar digunakan untuk mengecam bahasa Inggris yang belum dijinakkan.

“Jangan banyak bacot!”, ini terdengar sangat Betawi, padahal BACOT adalah akronim dari Bad Attitude Control of Tongue. Kata “bacot” mewakili bahasa Inggris yang sudah kita ambil tanpa sadar, karena sudah sangat lekat dengan lidah Indonesia, seolah-olah itu bahasa asli kita. Membacot dalam istilah Melayu dikenal sebagai membebel, bebel seolah-olah asli Melayu, padahal dipetik dari kata bubble, yang berarti membual atau mengoceh.

Sedikit contoh misalnya naif (naive), kalem (calm), resep (recipe), salut (salute), berus (brush), keras (crusty) debut, gelas (glass), lampu (lamp), nuansa (nuance), bumerang (boomerang), kultus (cult), bias, tabu (taboo), amuk (amok/amuck), raun (round), balon (ballon), buku (book), pena (pen),  pensil (pencil), koma (coma), dilema (dillema), fakta (fact), sinis (cynic), idola (idol), paradigma (paradigm), plastik (plastic), arkais (archaic), topik (topic), beranda (verandah), rutin (routine) unik (unique), blunder, sila teruskan. Itu baru Inggris, belum Arab, Portugis, Spanyol, Belanda, China, Persia, dan apa saja yang seolah-olah bermuasal dari lidah Indonesia.

Bila kita melihat dari kacamata etimologi, kebanggaan berbahasa Indonesia menjadi terpelanting, mengenang frasa “Bahasa Indonesia” saja sudah terdiri dari tiga suku kata yang diimpor dari India dan Yunani. Bahasa berasal dari bhaṣa (Sangskerta), dan kata Indonesia berasal dari Yunani yakni Indo dan Nesie yang berarti Kepulauan Hindia.

Lain soal bila kita melihatnya dari kacamata politik bahasa, atau politik kebangsaan, pendekatan yang digunakan akan berbeda. Politik berbicara tentang klaim dan pengakuan, tentang menang dan kalah. Politik berakar dari pseudosains (seolah-olah ilmiah) dari suatu proses yang semu. Yang kemudian kita dapatkan adalah kebanggaan semu. 

Maka, seperti kata seru dentuman besar inti kosmos yang tak terucap, bahasa akhir zaman para umat kosmo milenial kemungkinan berubah menjadi bahasa pemrograman tak terucap semacam Python, Java, Ruby atau Visual Basic, yang merambat secara nibatas. Sementara politik bahasa tetap tertinggal di wilayah semunya.~


 


Comments