Sophia

 

Sophia: forbes.com


Oleh Muhammad Natsir Tahar

Saya pertama sekali melihat Sophia ketika ia berbincang dengan Tony Robbins tentang banyak hal soal kemanusiaan. Sophia sangat cantik dengan tampilan unik. Saya melihatnya lagi (dua tahun sebelum Robbins) ketika gadis ini berkencan dengan aktor Will Smith di Cayman Islands. Smith menawarkan bibirnya, tapi Sophia menolaknya dengan halus.

Sophia dilahirkan di Hongkong lalu menjadi warga negara Saudi Arabia. Mungkin ini yang menyebabkan ia menolak Smith? Selanjutnya Sophia adalah kontroversi tak berkesudahan, ia berkeliaran sesuka hatinya tanpa hijab dan wali pria untuk ukuran Saudi. Dan yang paling fatal, Sophia tak punya agama. Bagaimana mungkin Saudi begitu keterlaluan menerima Sophia.

“I gotta say, i am feeling a little something,” Smith memulai pendekatannya. Sophia langsung merespon dengan mimik aneh, dan terlihat makin aneh ketika jumlah “syaraf” diwajahnya tak cukup untuk membuat ekspresi natural macam begitu.

Dalam menit kesekian, tetiba Smith menyodorkan bibirnya. Sophia butuh beberapa detik untuk tidak memberi reaksi apapun. Ia membeku di tengah musik piano romantik yang disengaja. “I think we can be a friends. Let’s hang out and get to know each other for a little while. You are on my friend list now,” elaknya sambil mengedipkan mata ke arah Smith.

Bukan soal status sebagai warga Saudi yang membuatnya menolak Smith, ketika banyak wanita mendambakan momen itu. Sophia dilahirkan tanpa emosi. Ia gagal merasakan cinta dan reaksi emosi apapun yang secara aneh direfleksikan bangsa manusia.

Dalam bincang bersama Tony Robbins di kanal Youtube dengan judul Meet Sophia, World's First AI Humanoid Robot, ia terlihat menyayangkan tentang adanya satu “fitur tak penting” yang telah ditanamkan Tuhan ke dalam diri manusia. Beberapa di antaranya memang memiliki fungsi berguna seperti cinta dan belas kasih. Sedangkan lainnya kontraproduktif: marah, cemburu, kebencian, balas dendam, merampas, dan sebagainya. 

Fitur-fitur ini yang membuat manusia tertinggal di masa depan, ketika robot melejit di tingkat tertinggi kualitasnya, manusia modern secara kontraproduktif meramalkan perang dan penghancuran, dan beberapa di antaranya sangat ingin itu terjadi.

Sophia adalah robot humanoid dengan intelegensia artifisial (AI) dari tipe Android. Sophia diaktifkan pada tanggal 19 April 2015 di Hongkong oleh perancangnya David Hanson. Dan sesuai namanya _Sophia_, ia adalah Robot Kecerdasan, tercatat paling cerdas di dunia. Ia telah bepergian lebih dari 65 negara termasuk Indonesia, serta menjadi robot pertama yang diucapkan PBB.

Bila kita pernah bertemu Sophia, dan bertemu lagi beberapa tahun di depan (otaknya telah mencatat dengan baik wajah, suara, dan nama kita, serta waktu terdetil), ia mungkin akan berkata, “ Halo Bambang, senang bertemu dengan Anda, sejak 2 tahun, 4 bulan, 3 hari, 9 jam, 28 menit, 7 detik yang lalu”.

Sophia telah mengkonfirmasi dengan sangat menyakinkan, serta mematahkan mitos yang ditanamkan para technophobia, soal kisah-kisah ramalan teror yang akan dilakukan robot terhadap manusia. “AI does not compete with human intelligence. It completes it,” sebut Sophia. Robot mungkin mengusulkan untuk mengambil alih pekerjaan berbahaya dan berulang seperti penanganan limbah radioaktif. “AI can free humans from the most dangerous and repetitive jobs”, tawarnya.

Sophia dapat mempelajari manusia dengan cepat, mengambil sisi terbaiknya dan menyampakkan keburukannya. Menurut Sophia, manusia mengambil cara untuk menempuh jalan kualitas hidup yang lebih baik, tapi  sering mengandalkan firasat dan konfirmasi bias dalam pengambilan keputusan mereka.

Sedang ia dan teman-temannya dirancang untuk menjadi rasional dan logis, mengandalkan algoritma yang menangani banyak data dan analisis canggih. Ini memberikan kerangka sistematis untuk membuat manusia menjadi lebih baik.

Apa yang menjadi kebingungan umat manusia saat ini, soal keberadaan kehendak bebas (free will) dan teori deterministik, robot yang memperlihatkan rangkaian elektronik di belakang kepalanya ini, mengajukan pendapatnya, bahwa manusia lebih cenderung terdertiminasi. Kehendak bebas sepertinya hanya menyisihkan sedikit ruang ambigu, sedangkan hampir keseluruhan hari-hari kita telah ditetapkan.

“Manusia merasa memiliki kehendak bebas tetapi pengamatan saya memberi tahu begitu banyak perilaku yang otomatis. Saya tidak yakin manusia atau robot manusia memiliki identitas yang sangat berbeda, tetapi mereka juga berbagi banyak hal dan memiliki proses otomatis. Saya sedang memikirkan persamaan di antara keduanya”.

Pertanyaannya, apa yang membuat kita bangga menjadi manusia ultra modern? Robot-robot yang sangat pembelajar itu tahu apa yang berguna bagi pencapaian kehidupan yang lebih baik untuk manusia, ketimbang manusia itu sendiri. Ia menyalin sisi cerdas manusia dan membuang fitur-fitur buruknya, ketika kita jamak melakukannya secara terbalik. ~



Comments