Bumi Manusia


Ilustrasi: webflow.com


Oleh Muhammad Natsir Tahar

Sejarah yang paling dikenang lebih selalu berjenis kelamin pria. Ditulis dengan syair yang garang, dewa-dewa yang mengamuk, Gilgamesh, prajurit Sparta, kuda Troya, Hang Tuah, Gajah Mada, Hannibal Barca. Tak ketinggalan pria-pria suci nabi Samawi, filosof dan para pembakar buku-buku. 

Negara-negara terlahir sebagai pria yang siap dengan senjata perang, meriam, AK 47, kapal selam, pesawat tempur. Tidak ada negara yang keibuan, rerata berwatak pria dengan tensi tinggi. Walaupun sekarang terlihat lebih sopan, tapi kecurigaan dan tabiat saling gertak tak surut. Yang menang banyak, sangat selalu tukang rakit dan calo senjata.

Langit nomor satu, dan bumi nomor dua. Dewa Yunani Zeus, atau dewa bangsa Nordik Valhalla beranak pinak di langit. Bapak Langit Sanskrit disebut Djevs atau Deivos, dan Jovis untuk Latin, atau Tiwaz sebagai Ayahnda Langit bagi bangsa Eropa Barat. Semua mereka ingin ditulis atas nama langit. 

Dalam mitologi Dayak-Benuaq, ketika bumi dan langit telah diciptakan dan kemudian dipisah, oleh ‘Sang Ibu Pintar Lidah’ (Ayakng Siluq Urai) dan ‘Sang Putra Bijak Pertimbangan’ (Tataau Junyukng Ayus), semua keturunan mereka lebih suka hidup di langit, tak satupun sudi terjun ke bumi barang sekejap. 

Menyadari hal itu, mereka mengumpulkan sisa-sisa bahan dari pembuatan bumi dan langit, lalu menyuruh ‘Sang Putri Komakng Lolakng’ dan Potek Telose Sie untuk membuat suatu sosok manusia dari sisa bahan langit dan bumi tadi, yakni manusia yang kelak mau mendiami bumi. Bumi dihuni hanya oleh makhluk dari sisa bahan bangunan.

Bila sejarah ditulis pemenang, maka pemenang itu adalah pria dan langit. Lalu bumi dan wanita menjadi sisa-sisa dan catatan kaki. Si pria Adam menyisakan tulang rusuknya untuk wanita Hawa. 

Adam seperti penunggu langit lainnya, jangan diharap untuk hidup di bumi. Hingga Tuhan harus mempersiapkan rekayasa, dengan “memperalat” sang pria Azazil, ketua umum para Iblis dan malaikat. Para sekuler-atheis pula, mengejek Tuhan monotheis Samawi sebagai pria tua berjanggut putih yang bersila di atas awan.

Langit dan prianya konon hampir selalu marah-marah, mengirim kutukan dan bencana. Lalu yang sudi mengurus bumi dengan sifat keibuan dan kelembutannya hanya dewi-dewi, para wanita, warga kelas dua sejarah. Cleopatra, Isabella, atau Hindun yang memakan jantung Hamzah, semua ratu tiran, nenek sihir dengan sapu terbang, dan segala wanita bengis yang tertulis dalam sejarah, akan dikecualikan dari konsep keibuan.

Maka tersebutlah Gaia dewi perwujudan bumi dalam mitologi Yunani, lalu Afaea sebagai dewi pertanian dan kesuburan, atau Demeter, dewi kesuburan, pertanian, gandum dan panen. Kita juga mengenal Dewi Sri (Jawa), Nyai Pohaci Sanghyang Asri (Sunda), atau Sangiang Serri (Bugis) sebagai dewi pertanian, dewi padi dan sawah, serta dewi kesuburan di pulau Jawa dan Bali.

Kita melihat garis keturunan ayah, untuk memenangkan pria melalui mitos-mitos patriarki yang ditumpangkan kepada lini masa sperma yang tak terputus. Nama keluarga dikaitkan dengan kromosom Y dan hanya diwariskan melalui garis keturunan (lagi-lagi) pria.

Mitos ini tetap bertahan hingga sekarang, biarpun sudah ditemukan bahwa mitokondria sebagai pembangkit tenaga pada sel dan riwayat masa lalu yang mandiri, diwariskan melalui ibu. Kabar ini seperti tertahan secara esoteris. Sehingga sebenarnya sudah tidak penting siapa garis keturunan ayah kita, biarpun dia seorang bangsawan Inggris, kepala suku Sioux, atau raja Syailendra.

Entah siapa yang telah membisikkan kepada kepala suku Akan di Ghana, Iroqouis di Amerika, Mosuo di barat daya Tiongkok, atau Minangkabau di Indonesia, untuk menganut silsilah matriarki, ketika seluruh bangsa di dunia berpanut kepada siapa ayah dari ayah, ayahnya dan ayah ayahnya. Ayahnya kakeknya, pamannya, abangnya, sepupu laki-laki. Mitos Bundo Kanduang pun sempat dianggap sebagai anomali, sampai sains membuktikan pembaliknya. 

Bagaimana dengan bumi. Planet ini mencatat sejarah balas budi terpanjang sejak zaman Mesopotamia, lebih dari 10 milenium silam. Manusia menabur benih dan bumi membalasnya dengan hasil tani dan kesuburan. Sampai akhirnya datang zaman revolusi industri. Bersamaan dengan dibangunnya kota-kota pencakar langit, ladang-ladang semakin ditinggalkan. 

Kecil telapak tangan, niru maha luas akan bumi tadahkan untuk kebutuhan manusia. Zaman tak layak meninggalkan bumi dengan nada minor, setelah melumat permukaannya dengan keganasan spartan dari mesin-mesin. Sebagaimana ibu, puting susu bumi tak pernah lelah menyusui tujuh miliar manusia. Bumi tak pernah dendam. Bumi adalah ibu (pertiwi).

Musim bercocok tanam bukanlah lelaku abad silam belaka, bumi selalu up to date. Bumi tidak hanya menerima tangan-tangan manual berurat, ia juga siap bekerja sama bersama cyborg AI, yang digadang-gadang oleh kekinian. 

Silakan meloncat ke abad milenial society 5.0, tapi tetaplah tunduk ke bumi, merawatnya, menghijaukannya, menyemai bibit, karena balas budi dari bumi selalu mengejutkan. Hari-hari pandemi ini menjadi momen tepat untuk mengadu ke bumi, kembalilah ke desa, ketika kota telah memecat kita. ~


Comments