Kosmos 5.0

@Shutterstock/ Fernando Cortes


Oleh Muhammad Natsir Tahar

Di salah satu kanal Youtube, Guru Besar Oxford University Richard Dawkins bilang, bila eksistensi planet bumi seperti sebentang lengan, maka manusia mulai ada di bagian ujung kuku. Saat ini kita berada di ujung yang paling tidak terlihat. Kita hampir melihatnya ketika membiarkan kuku itu tidak dipotong seminggu.

Bumi sudah sangat tua bangka, 4,543 miliar tahun kata Google. Sedangkan jejak paling purba manusia dengan tubuh modern (Sapiens) hanya 200.000 tahun. Masa 200.000 tahun sama dengan waktu yang dibutuhkan untuk bolak balik dari ujung sebelah sini ke ujung sebelah sana galaksi Bima Sakti. Seperti seorang komandan memeriksa barisan.

Galaksi ini cuma satu dari sekian miliar galaksi yang menampung miliaran bintang yang kita lihat di langit malam dan mungkin sudah punah. Ada miliaran ledakan supernova, ada miliaran kiamat di luar sana saban waktu. Dari perspektif kosmos, kiamat adalah fenomena biasa. Sementara kita hanya melihat kiriman cahaya dari seribu atau satu juta tahun yang lalu. Dan beberapa hal yang pernah dibocorkan oleh teleskop Hubble. 

Karena ini para kosmolog selalu menyebut Tuhan sebagai sangat mubazir, dan sangat membuang-buang waktu. Bila kita fokus kepada manusia bumi, mengapa Tuhan butuh 13,5 miliar tahun untuk membuat manusia bisa bernafas lewat paru-paru. Justru di hamparan super debu kosmos yang kita sebut bumi. Sepotong keberuntungan yang sangat tidak signifikan dalam ketakhinggaan kosmos. Kosmolog Lawrence M. Krauss pun menuduh manusia sebagai insignificant.

Apapun itu, kita mulai saja membaca pengembaraan manusia, di ujung kuku yang tak terlihat tadi. Fajar peradaban dimulai oleh Masyarakat 1.0 (Hunter-gatherer Society), manusia berburu dan mengumpulkan cadangan makanan. Di era nomad ini, manusia hidup tanpa mengenal batas teritorial. Mereka berkarnaval dengan teknologi terdepan kala itu: kapak batu dan api. Mereka berwisata ke rimba-rimba yang terbakar dan mengunjungi galeri seni bergengsi berupa lukisan dan pahatan di dinding gua.

Matahari terbit bersamaan dengan bangkitnya Masyarakat 2.0 (Agrarian Society). Manusia mulai menetap, rumah menjadi penting dan tentu saja keluarga. Ada pembagian tugas, wanita menyusui anak-anak, memasak, menjaga biji-bijian, mengurus ternak, serta saling mencabuti kutu rambut. Kadang-kadang tidak ada pembagian tugas, semua pergi ke ladang pagi-pagi dan kembali petang. Petani Lithuania mulai mencangkul pukul tiga subuh, pria dan wanita.

Masyarakat 2.0 memulai revolusi pertanian sekaligus kognitif lewat bicara dan menulis. Di sini pula hukum Hamurrabi muncul. Manusia pemalas mencari akal, agar tak ke ladang susah-susah. Mereka membual tentang wakil dewa dewi di bumi, tentang siapa yang berhak menjadi raja dan memungut upeti. Siapa yang layak melecut cambuk, siapa yang pantas menjadi budak, lalu siapa pula tetua adat, dan siapa yang harus berperang. Kasta-kasta dibangun oleh para tukang bual, sekaligus pemalas yang licik. Era 2.0 juga melahirkan tuan-tuan tanah dengan cara yang busuk, Tuhan tidak menciptakan bumi untuk diaku-aku.

Era kognitif memang lahir di sistem 2.0, tapi hanya sebatas berbual dan membuat syair, atau mengasah tombak. Inovasi sangat lambat. Beberapa teknologi yang diusulkan oleh genius ditolak, tidak ditolak jika tujuannya untuk berperang. 

Suatu hari William Lee ingin membebaskan bangsanya dari rutinitas merajut topi secara manual dan membosankan. Sayangnya alat pemintal otomatis bernama stocking frame itu ditepis tanpa ampun oleh Ratu Elizabeth I (1558 – 1603). “Kau terlalu ambisius, Master Lee. Coba bayangkan dampak yang ditimbulkan mesin buatanmu itu terhadap rakyatku yang hidup melarat. Mereka pasti makin sengsara sebab mesinmu itu jelas-jelas membuat mereka menganggur dan akhirnya menjadi peminta-minta”.

Era 2.0 sangat panjang, mulai matahari terbit hingga lewat waktu ashar. Ketika matahari sudah miring ke garis barat cakrawala, manusia baru memulai membangun peradaban 3.0 (Industrial Society), dengan apa yang kita namakan revolusi industri. Sebuah mesin uap berdentang pertama sekali di lembah penambangan batu bara bangsa Anglo Saxon. Ketika itulah manusia mulai berkawan dengan mesin. 

Tahu waktu yang tersisa tidak banyak. Era 3.0 berlari secepat pencuri. Kata yang paling pantas untuk sebuah revolusi berlaku di sini. Semua yang tidak dibuat pada waktu bercocok tanam, selesai di sini. Jika mesin uap bisa diciptakan, semua mesin lainnya mengapa tidak. Apapun yang tidak disediakan oleh Tuhan. Bahkan mereka mencari akal untuk mengunci Tuhan di bilik penyembahan, agar tidak kemana-mana.

Matahari hampir terbenam ketika kita masuk ke peradaban 4.0 (Information Society). Ini adalah zaman yang kita alami dalam dua dekade terakhir. Seperti balik ke zaman 1.0, era ini menihilkan batas-batas, tidak penting tembok pembatas atau garis imajiner teritorial yang telah dibuat oleh para pembual. Manusia menuju ke peradaban kosmo tanpa sekat. Globalisasi adalah kata kunci, dan percakapan dalam dunia dan seluruh manifestasinya berlangsung secara waktu kini (real time).

Peradaban 5.0 (Society 5.0) telah dan sedang dimulai. Terjadi lompatan kuantum pada teknologi informasi sebagaimana telah diramal sebelumnya. Terjadi keterikatan penuh antara dunia maya (cyberspace - virtual space) dengan dunia nyata (real space). Ada empat industri maya yang memuncaki Peradaban 5.0, yakni Internet of Things (IoT), Big Data, Artificial intelligence (AI), dan kegiatan ekonomi digital (the sharing economy).

Pertanyaan akan muncul beruntun. Yang penting darinya seperti, bagaimana spesies manusia sebagai caliph di muka bumi dapat berbicara dengan menegakkan bahu atas nama humanisme di hadapan para pendekar AI, ketika segenap sejarah kita terdeteksi sebagai human error. 

Di antara kemudahan yang dihadirkan oleh peradaban 5.0, kita semakin terikat, semakin terhisap, semakin telanjang dalam sebuah operasi Big Data. Mereka para robotika AI punya kemampuan mengerkah data tersebut, mengelaborasinya dan menciptakan solusi. Mereka bisa tahu sampai kapan jantung kita bisa bertahan, makanan apa yang tidak boleh, bahkan memilihkan jodoh yang tepat untuk kita. Apakah ini masalah atau berkah?.

Era 5.0 seperti mengembalikan kita ke zaman nomad 1.0, manusia dapat mengembara tanpa sekat psikologis, tidak ada pekerjaan repetitif atau berulang-ulang karena telah digantikan oleh otomasi, mulai kaburnya kasta sosial, lenyapnya para atasan (unbossed), dan seterusnya. Sesungguhnya manusia adalah makhluk kosmo dan kembali ke kosmo, seperti sebelum para pembual dilahirkan.   ~




Comments