Filantropi: Andrew Carnegie

Andrew Carngie: fineartamerica.com


 

Jika ingin terhormat, meninggallah dengan harta yang sudah tersalurkan untuk banyak orang. Untuk kemanusiaan. Jika meninggal dan Anda tetap kaya, Anda sangat hina.

Itu yang dikatakan sang crazy rich asal Skotlandia, Andrew Carnegie (1835-1919) dalam artikelnya The Gospel of Wealth. Andrew tidak hanya berucap, ia melakukannya. Di atas muka bumi modern ini, belum ada yang menandinginya.

Ia memercayai Gospel of Wealth yang berarti orang-orang kaya wajib mengembalikan uangnya kepada masyarakat. Yang paling terlihat, Andrew telah membangun 2.000 perpustakaan di seluruh dunia.

Pada 1911, 90 persen kekayaannya telah disumbangkan lewat Carnegie Corporation untuk membantu perguruan tinggi, sejumlah sekolah, dan lembaga peradilan.

Ayat-ayat tidak berdusta, dan semesta pun tak ingkar janji. Orang-orang super kaya seperti George Soros, Warren Buffet, Carlos Slim, Jeff Bezos, Steve Ballmer, Mark Zuckerberg, Larry Ellison, dan Michael Bloomberg, adalah sekaligus dermawan paling tidak masuk akal. Hitungannya triliunan rupiah.

Pada 600 SM, Filsuf Tiongkok Lao-Zu sudah mengingatkan, jika ingin mengambil, Anda harus memberi lebih dulu. Inilah awal mula kecerdasan. Ini menjadi sulit dalam pakem rasional.

Tidak dibicarakan dalam ilmu ekonomi manapun. Tidak ada dalam kredo Adam Smith, tidak tertulis dalam buku politik ekonomi David Ricardo, atau teori moneter Irving Fisher dan John M. Keynes.

Seperti membalikkan cara berpikir Adam Smith, Bapak Ekonomi yang satu puak dengannya. Smith menulis The Wealth of Nation yang berpaku pada kekuatan kapital untuk menghasilkan pelipatgandaan profit, Andrew datang dengan The Gospel of Wealth, berupa pengurasan kekayaan pribadi demi kehidupan.

Orang-orang kaya harus melepas prinsip dasar ilmu ekonomi untuk sampai ke taraf filantrofis. Memberi tanpa pamrih, tanpa ekspekstasi pada profit adalah wilayah belief system, mencakup ke dalam dogma dan metafisika.

Teori-teori ekonomi nyaris tidak memberi peluang bagi nilai tambah kemanusiaan, sampai itu terlihat berguna. Orang-orang kaya yang bertahan pada kredo prinsip ekonominya, justru akan mengenggam uangnya ketat-ketat di pintu gerbang krisis ekonomi dunia.

Resesi akan berkepanjangan, dan mereka saling tunggu. Ketika ekonomi dunia sedang genting, pemilik modal justru membalik badan.

Bila target pasar, skalabilitas, rasio pengembalian investasi, produk dan rivalitas, serta kemampuan adaptasi tidak dapat dinalar secara ekonomi, maka tidak ada investasi baru, tidak ada lapangan kerja baru.

Tidak ada tanda-tanda kehidupan yang bakal tumbuh. Inilah akibat penggunaan logika dalam prinsip ekonomi.

Kita terutama Indonesia yang sedang payah membutuhkan lebih banyak filantropis. Yang tidak hanya menunjukkan batang hidung di musim kampanye dengan banyak kamera. Bila perlu datanglah sebagai pahlawan bertopeng di seluruh musim.

Seperti Andrew yang menginspirasi para filantrofis di dunia barat sehingga rela menyumbangkan hingga 90 atau minimal 50 persen kekayaannya bagi kemanusiaan. Indonesia belum punya itu, kecuali yang tercatat adalah pendiri Mayapada Group,  Dato’ Sri Tahir.

Gates, Buffet, Zuckerberg, Rockefeller, Turner, Tahir telah sangat percaya bahwa “Giving Makes You Happy”. 

Mereka adalah murid-murid pemilik hati malaikat: Andrew Carnegie. Berderma bagi mereka telah memberikan kebahagiaan dan makna hidup yang sangat besar kepada manusia yang melakukannya.

Memberi bagi Andrew tidak sekadar merogoh kocek atau gugur kewajiban, sehingga ia lebih fokus pada pendidikan dan keadilan. Seperti pameo klasik, beri pancingnya bukan ikannya.

Pendapat Friedrich Nietzsche pula dapat memberikan alternatif: jangan sekali-kali berurusan dengan pengemis! Sesungguhnya, memberi kepada mereka hanya akan membawa kejengkelan semata, dan tidak memberi pun tetap akan membawa kejengkelan.

Bagaimana jika pengemis itu punya KTP dan tercatat sebagai peserta pemilu pak Nietzsche? ~

Comments