Kota Amnesia

Ilustrasi: frenchdreamtown


Oleh Muhammad Natsir Tahar

Kota-kota menjadi pikun. Selalu lupa cita-cita filosofisnya sebagai pusat kemakmuran segala lapisan. Bila orang-orang menggigil di kota sebab ketakutan atau kelaparan, kota itu benar-benar sudah hilang ingatan. 

Bajingan paling tengik tinggal di kota. Tapi orang-orang paling lapar juga tinggal di sana. Orang-orang dengan operasi plastik, dan bibir penuh teka-teki tidak jauh-jauh dari kota. Politisi berjanji di alun-alun kota, dan memilih pikun setelahnya.

Sebelum ini, dengan temperamen yang artistik, kota-kota selalu berdandan sambil mendengus pada bau anyir peradaban. Kota-kota tertawa di antara tiang-tiang menara dan wangi parfum para binatang ekonomi yang dikejar tagihan hedonistik. 

Kota-kota menghasut desa agar serupa dengannya. Mereka menebang pohon, merusak sumber lauk, sayur, padi, dan umbi. Lalu mengajari warganya untuk berhutang cara daring.

Kini wajah kota pula yang tertunduk. Dulu kata-kata Pram ini sesuai:  Kami memang orang miskin. Di mata orang kota kemiskinan itu kesalahan. Lupa mereka lauk yang dimakannya itu kerja kami. 

Lupa dekat dengan pikun. Kota-kota pikun, orang-orangnya pikun. Orang-orang kota selalu tertunduk, wajah mereka masih terhisap sepenuhnya ke dalam layar telepon pintar, meski keadaan sudah segenting ini. 

Orang-orang desa ikut gemetar, lauk yang mereka kirim ke kota dibeli tak seberapa. Tak ada lagi pesta di kota. Lampu-lampu pusat belanja dan gedung pertunjukan telah dimatikan. Yang terdengar lantang hanya suara politisi bercampur dengan para penuding dan penegak benang basah. 

Orang-orang kota menutup telinganya, mencari bait puisi yang kemarin. Tentang masih ada hari esok. Dan Tuhan tidak tidur. Bahwa hanya kota yang pikun, Tuhan tidak.

Gadis-gadis kampung yang kemarin dipajang di akuarium birahi, sedang mencari jalan pulang. Tidak ada pembeli, pria kota pemetik bunga mendadak takut mati oleh air liur yang dirayapi virus. 

Wajah kota kini sangat murung. Mobil pemakaman yang dulu dianggap sebatas gangguan lalu lintas, kini adalah tanda tanya: giliran siapa berikutnya? Wabah itu seperti Kaisar Nero yang membakar kota. Seperti debu panas yang menimbun Pompeii. 

Padahal para filosof telah menaruh harapan besar pada kota. Tidak ada filosofi di luar kota. Filsafat tidak sesuai dengan keluarga dan otoritas paternal, dengan suku dan kekuasaan para tetua, penyihir, dan dengan semua jenis wacana yang datang dari luar, atau yang mendahului logos (A philosophical idea of the city, Yale University, 2003).

Artinya hanya kota menjadi tempat bagi musim semi percakapan filsafat, tidak ada setelahnya. Seperti Miletos dan Athena, kota harusnya menjadi lokus holisme yang membelakangi semua ide-ide parsial dan berpotensi cul de sac.

Kota hari ini adalah pusat aglomerasi segelintir orang, dengan tata ruang yang memihak kekuatan dominan. Pergeseran makna dari public goods menjadi private goods sebagai akibat dari keniscayaan laju sejarah neoliberalisme menjadi pendorong kontradiksi setua sejarahnya.

Sesungguhnya dalam cita-cita filosofisnya, kota dibangun untuk menyejahterakan masyarakat seluruh lapisan serta tempat bernaung dan berhimpun penduduknya secara humanis dalam prinsip kesetaraan (equal opportunity). Bukan kota distopia yang megapolis apalagi tyranopolis.

Dalam sebuah cerita indah yang disebut Lambang Kota, Franz Kafka berbicara tentang Menara Babel, mengatakan bahwa tujuan penting dari kapitalis di kota adalah untuk membangun sebuah menara yang akan mencapai langit. 

Ada satu, proyek akhir, umum untuk semua. Itu gagal. Menara runtuh. Dan dari runtuhnya menara muncul keragaman: kota. Menara Babel bukanlah sebuah kota, tetapi reruntuhannya adalah sebuah kota. Ini adalah kota yang ingin ia  pertahankan, meskipun kadang-kadang tampaknya terbang di hadapan bukti, melawan retakan paten antara urb dan civitas.

Kota kita hari ini menjadi retakan yang rapuh, tak kuat menahan badai. Cengeng dan pikun. Kota tidak dibangun dengan filsafat, kota tidak menawarkan kesetaraan tapi perlombaan, bahkan medan pembantaian. 

Kota tidak lagi punya cita-cita filosofis, kekayaan kota ditimbun menjadi menara setinggi langit. Menara itu harusnya runtuh, agar puing-puingnya menjadi batu bata bagi membangun rumah bersama, dan penghuni kota bisa dikenyangkan dengan lauk bergizi agar kuat berkelahi dengan virus. ~


Comments