Mitologi Digital

 

 

Ilustrasi: pbs.twimg.com


Oleh Muhammad Natsir Tahar

Dalam ruang kekinian baik Barat dan Timur, keduanya tidak benar-benar meninggalkan mitos. Apalagi kaum Barat yang mendobrak kemapanan teologis dan metafisis dengan jalan analitik dan agnostik, ternyata masih dikepung oleh kenangan mitos.

Hari-hari yang dilewati dalam abad ultra modern ini, adalah hari-hari mitos. Kita menggunakan sistem penanggalan dari mitos-mitos astrologi yang dikombinasikan dengan perayaan nama-nama dewa Yunani dan tirani Latin. Lalu tahun baru disambut dengan fitur-fitur modern untuk mengulang mitos dari Mesopotimia kuno yang diapit Eufrat dan Tigris.

Dibanding orang Timur (terutama China dan India), yang akar filsafatnya adalah sintetik, Barat (secara historis mencakup filsafat Islam) yang analitik, memulai fase positivisme dan hanya fokus pada bidang-bidang fungsional, tanpa sadar masih terpesona oleh kenangan-kenangan mitos dan legenda.

Kita dapat menandai ini dalam frasa Inggris modern yang masih mengabadikan mitos-mitos primitif Yunani, seperti as strong as Hercules, as beautiful as Venus, Achilles’ heel, Oedipus-complex, chaos, tantalize, mercurial, venereal disease, amorous, bacchanal, ocean, atlas, psychology, misalnya. Atau kosa kata urban legend seperti Friday 13th, Jeepers Creeper atau Bigfoot.

Hal ini dapat dipahami dari sangat panjangnya rantai historia mitologi yang telah dilewati oleh moyang kita, dan diturunkan secara genetik. Auguste Comte membaginya menjadi masa teologis, lalu masa metafisis  (rasionalisasi religi), hingga sampai ke tahap positif (masa saintifik).

Sedangkan Eric Dardel membelah tahap evolusi peradaban manusia menjadi tahap mistis (mythical stage), tahap epik (epic stage), dan tahap historis (historical stage). Tahap teologis dan metafisis versi Comte atau tahap mistis dan epik versi Dardel memakan waktu hingga ratusan ribu tahun.

Kata Dardel, manusia modern sedang melewati tahap historis, dimulai ketika manusia (Barat) tidak lagi melihat masa lalu sebagai teladan, lalu mulai menentukan sasaran-sasaran rasional bagi dirinya dan memikirkan cara-cara pencapaiannya.

Manusia Barat telah melewati tahap ontologis, ketika berhasil membebaskan diri dari kekuasaan mistis dan mulai mengambil jarak dengan segala sesuatu yang ditatapnya. Mereka mulai berpikir dan meneliti. Padahal mereka tidak benar-benar membebaskan diri.

Filsafat Barat sebagai akar dari sains modern yang dikembangkan oleh semisal Thales hingga Plotinus justru berangkat dari spekulasi- spekulasi mistis dan legenda-legenda primitif di sekitarnya. Yang membedakan, orang kuno masih mengacaukan antara sihir dan sains, menganggap semua fenomena sains adalah sihir. Seperti memburu ilmuan dan menuduh mereka sebagai penyihir.

Mereka tak memahami logika dikotomis, logika diferensial, apalagi logika definisi yang amat abstrak. Namun itu tidaklah tampak buruk pada masanya, kecuali bila orang sekarang melakukan hal yang sama.

Mitos tak bisa dipinggirkan begitu saja, mitos sebagai abstraksi pengalaman manusia adalah refleksi dari kebudayaan. Mitos berusaha untuk menyampaikan pesan yang bersifat transformatif dan mendukung kelestarian simbol dan makna.

Masyarakat yang hidup dalam mitos yang sama, cenderung memiliki kohesi sosial dan ikatan batin yang sama. Mereka mengemas mitos dalam paket-paket mitologi demi glorifikasi, romantisme, dan pengabadian identitas. 

Namun kita bukan pemindai mitos belaka, adakalanya kita perlu menciptakan mitos dan kenangan baru bagi penerus di abad-abad mendatang. Kita bukan hanya penyalin ulang Hang Tuah atau Gajah Mada untuk dikirim ke masa depan, tapi siapa Hang Tuah hari ini, siapa Gajah Mada versi abad digital? 

Meminjam Gandhi, sebagai manusia, kehebatan kita tak lagi pada kemampuan untuk menciptakan kembali _itu adalah mitos zaman atom_, tapi pada kemampuan kita untuk membuat ulang diri kita sendiri. ~



 

 

Comments