Algoritma dan Keacakan

 

Ilustrasi: rocketcdn.me


Oleh Muhammad Natsir Tahar

Percakapan tentang kehendak bebas hampir-hampir dihabisi. Setidaknya itu yang saya sadari, kemauan bebas versus takdir dalam determinisme telah menjadi perdebatan filosofis sepanjang waktu. Kesimpulannya dan jika saya harus berpihak: kehendak bebas hanyalah ilusi.

Bersama makhluk biologis lainnya, setiap aksi dan reaksi keseharian kita telah tersusun dalam urutan langkah logis yang disebut algoritma. 

Kita melakukan urutan-urutan secara tetap dalam misalnya menanak nasi atau mengerjakan tugas-tugas kantor atau pabrik, dan aktivitas di pagi atau bahkan sepenuh hari yang selalu berulang. 

Algoritma pada siklus hidup seekor kucing dapat dideteksi secara sederhana. Dari bayi dan menyusu, menggaruk telinga, bergelut, mengais untuk menimbun kotoran, suara-suara berisik memasuki  musim kawin, beranak pinak, menyusui dan seterusnya, dan itu terjadi sama untuk setiap kucing. 

Algoritma pada kucing berlaku konstan dengan periode yang rigid, karena tidak ada interupsi dari pikiran. Apakah pikiran dan horizon peristiwa yang mengitarinya bagian dari kehendak bebas? Faktanya, hari ini kecerdasan buatan (Artificial Intelegence) dapat mengambil alih kehendak bebas untuk menentukan keputusan terbaik, dengan hanya mengerkah algoritma kita.

Tak perlu membawa-bawa teori Friedrich Ratzel tentang faktor-faktor eksternal (determining factor) atau Dr. Joe Dispenza tentang kekuatan kebiasaan atas tindakan yang datang dari dalam, kita dapat merasakan sendiri, apakah kita benar-benar telah bertindak secara bebas.

Apakah kita punya jadwal untuk tertawa, marah, atau jatuh cinta? Semua itu berasal dari dorongan, kita tidak bebas, kita didorong atau ditarik secara simultan. Dalam energi kuantum, dimisalkan bila seseorang di ujung sana sedang memikirkan kita secara konstan, kita akan segera ditarik untuk melakukan kontak bahkan terlihat sebagai kebetulan yang tidak logis. 

Ini bukan kebetulan, kita tidak bebas, kita ditarik. Terkait fenomena ini, saya telah cepat-cepat mencomot postulat Profesor Ilmu Kognitif Donald Hoffman _tanpa mendalami sepenuhnya_ bahwa keseluruhan persepsi kita tentang realitas adalah ilusi.

Kita berpikir bahwa kita punya kehendak bebas soal memilih mode atau produk lainnya, padahal kita mungkin hanyalah korban dari pesan subliminal yang bertubi-tubi oleh rangsangan visual maupun suara dari marketing produk. 

Kita bisa berdalih, kita tidak pernah melihat iklan itu, tapi hanya mengikuti tren atau ajakan teman, atau tidak ada pilihan lain selain yang itu, atau karena pertimbangan harga. Alasan-alasan tersebut bukan bagian dari kehendak bebas, kita disetir. Ini belum dicampur aduk dengan nafsu dan godaan setan dalam sistem kepercayaan.

Apa yang kita ilusikan sebagai kehendak bebas hanya tinggal sebagai rencana, prediksi, dan imajinasi sampai itu diizinkan terjadi oleh Sang Maha yang telah mengatur setiap detil gerak kosmos. 

Jika demikian kehendak bebas menjadi ilusi. Pujian dan hukuman hanyalah efek samping dari ilusi. Lalu kita berlarian sepanjang hari antara gerak impulsif dan kompulsif.

Perdebatan tak usai antara determinisme dan kehendak bebas (free will) pernah didamaikan oleh aliran kompatibilisme. Secara tidak percaya diri mengatakan bahwa kehendak bebas dan determinisme merupakan gagasan yang tidak bertentangan, dan meyakini keduanya pada waktu yang bersamaan bukan merupakan ketidakkonsistenan logika.

Kata John Locke (1690), para kompatibilis percaya bahwa kebebasan dapat hadir dalam suatu situasi untuk alasan yang tidak ada kaitannya dengan metafisika. Pengadilan misalnya, menetapkan bahwa seseorang bertindak berdasarkan kehendak bebas mereka tanpa membawa isu metafisika. 

Begitu pula kebebasan politik merupakan konsep non-metafisis. Mereka mendefinisikan kehendak bebas sebagai kebebasan untuk bertindak tanpa halangan dari orang atau institusi lain.

Dalam konteks metafisika akan muncul pertanyaan, apa yang membedakan antara tanpa halangan dengan diizinkan untuk terjadi? Misalnya seorang pembunuh, apakah dia seorang pendosa tanpa halangan atau justru dia adalah tangan Tuhan yang diizinkan itu terjadi, karena ajal dan cara kematian (saya ingin bertanya kepada pemuja kehendak bebas apakah ini sudah terdertiminasi atau tidak?). 

Apakah kita akan begitu saja mengatakan seseorang mati secara acak agar menghukum seorang pembunuh menjadi tampak logis? Dari sisi cara kematian, apa yang kemudian membedakan seorang pembunuh dengan tiang listrik yang ditabrak dalam kecelakaan tunggal?

Apakah kejadian-kejadian pasca pembunuhan harus disusun ulang (berada di luar domain takdir deterministik), misalnya perubahan status seseorang istri menjadi janda, anak menjadi yatim, pembagian warisan dan hari-hari yang tak lagi sama, hanya karena ada seseorang penjahat yang tanpa sengaja menginterupsi durasi hidup orang lain. 

Tanpa sengaja artinya motif pembunuhan bisa didorong oleh dendam, amarah, hasutan, kebutuhan, kesempatan dan desakan, apa saja. Lagi-lagi itu bukan bagian dari kehendak bebas. (Tanpa bermaksud permisif terhadap kriminalitas, mau tidak mau ini harus dibunyikan dalam wacana filosofis).

Pertanyaan selanjutnya misalnya tentang pemerkosa (didorong oleh libido sekaligus ditarik oleh sensasi visual dari korban) yang menghasilkan anak. Apakah anak ini dilahirkan karena takdir atau melompat begitu saja ke muka bumi dari ayah seorang bajingan? Lalu bajingan ini dihukum walaupun dia telah “diperalat” oleh Tuhan.

Pertanyaan-pertanyaan serupa dan pembelaan terhadap masalah logis kejahatan dalam bentuk yang lebih kompleks telah dielaborasi oleh Alvin Plantinga, seorang filsuf analitik yang kemudian menulis bukunya Tuhan, Kebebasan, dan Kejahatan (1977).

Jika kehendak bebas itu nyata, dalil Jean-Paul Sartre “Man is condemned to be free” _manusia dikutuk untuk bebas_ dapat diterima. Kita dikutuk untuk bebas agar kita bisa dihukum, tanpa melibatkan Tuhan di dalamnya, atau bahkan Tuhan ikut serta. 

Tuhan menyediakan surga dan neraka untuk segala sesuatu yang telah Dia takdirkan. Sebagai Sang Maha Tahu (omniscient) menjadi mustahil bahwa Tuhan tidak tahu siapa yang akan menjadi penghuni surga dan neraka-Nya kelak.

Menghapus kehendak bebas dari angan-angan kita tidak hanya dilakukan di masa silam, bahkan oleh ilmuan paling progresif abad ini, misalkan Bostrom dari Oxford, Terrile dari NASA, dan Elon Musk pemilik Space X. 

Mereka mendalilkan punya landasan logis untuk mengatakan bahwa kita sedang berada dalam dunia simulasi di bawah pengawasan entitas superior di atas langit. Sebuah eksprimen juga membuktikan, bahwa otak telah membuat keputusan bawah sadar sebelum kita menyadarinya. 

Lalu apa yang kemudian membedakan kita dengan burung camar atau pohon mangga? Sebagai sesama makhluk yang disusun oleh algoritma dan determinasi, setidaknya kita punya pikiran sadar (consciousness), kita punya bahasa, kita punya mitos dan kita punya puisi. Kita dapat memenuhi dahaga batin dengan merayakan Tuhan dan takdir-Nya detik per detik. ~



Comments