Dialog Socratik

 



Ilustrasi: squarespace-cdn.com


Oleh Muhammad Natsir Tahar

Dialog-dialog Plato adalah sebuah model untuk jenis meditasi yang dipraktikkan Socrates dan pengikutnya. Dialog ini bukan seperti yoga, melainkan mengambil bentuk percakapan dengan diri sendiri atau bersama orang lain, yang mendorong pemikiran sampai ke batas terjauhnya.

Namun, jenis dialog internal ini seperti disebutkan Karen Amstrong, hanya mungkin jika diri yang kita ajak berbincang adalah diri yang otentik. Misi Socrates yaitu membangunkan pengetahuan diri yang asli di dalam diri orang-orang yang datang untuk berbicara dengannya. Dia telah mencipta apa yang disebut sebagai dialektika, disiplin ketat yang dirancang untuk menyingkapkan kepercayaan palsu guna mendapatkan kebenaran.

Socrates membuat dirinya otentik dengan mengosongkan semua doktrin yang datang dari luar. Dia mendapati dirinya tidak tahu apa-apa sama sekali, berbeda dengan orang-orang yang merasa banyak tahu dengan hanya berpijak kepada ranting-ranting pikiran yang rapuh dan dipertahankan bahkan sampai ajal tiba.

Socrates menyadari bahwa sistem nilai yang dia pegang di dalam hidup tidak memiliki dasar, sebagai akibatnya, untuk melangkah ke depan secara otentik, dirinya harus berdasarkan pada keraguan (aporia) bukannya kepastian. Jenis kebijaksanaan yang ditawarkan Socrates tidak diperoleh dengan menambahkan jenis pengetahuan, tetapi dengan belajar mengada dalam cara yang berbeda.

Berfilosofi bukan berarti menggoda lawan agar menerima sudut pandang kita, melainkan melakukan peperangan dengan diri sendiri, hingga mengalami konversi (metanoia), yang secara harfiah berarti berputar balik.

Metode dialog Socratik perlu dilakukan sesekali untuk memeriksa telah sejauh mana diri kita tidak otentik. Ketika membaca semacam teori atau sistem nilai, kita bertahan pada prinsip itu, kita kehilangan diri kita sendiri, kita memakai isi kepala orang lain. Kita memakainya secara denial untuk mempertahankan pendapat pribadi atau cara hidup.

Dalam hidup yang terdertiminasi bahkan secara kehendak bebas, tidak ada kebenaran absolut. Perhatikan orang-orang yang sedang berdebat untuk merebut kebenaran. Mereka hanyalah orang-orang ngeyel berkepala batu. Lebih banyak terpolarisasi di dalam kotak, yang mereka dengan sadar (atau tanpa sadar) terkurung di dalamnya tanpa penolakan.

Hanya karena yang satu pernah membaca buku A yang lain buku Z. Yang satu memegang petuah moyang X yang lain dari leluhur Y. Yang satu belajar di kampus M yang lain di kampus S.  Bisa saja karena yang satu telah melihat fakta B dan yang lain fakta C.

Orang yang tidak bijaksana menurut Socrates adalah orang yang tidak membawa keraguan pada doktrin yang telah mereka terima, tidak pernah memeriksanya sama sekali. Padahal hidup yang tidak terperiksa tidak layak untuk dijalani.

Indonesia adalah salah satu negeri yang metode dialog cara Socratik hampir tidak mungkin untuk dilakukan. Kita sebenarnya tidak memiliki nalar kritik. Kita telah lupa mengosongkan diri. Salah satu sebabnya karena filsafat tidak diajarkan di sekolah menengah. Pada usia ketika kita masih kosong, untuk tetap kosong.

Ketika seseorang secara kebetulan mengenal filsafat di lingkup kampus atau pertemanan dengan literasi, dirinya telah hampir penuh dengan teorema dan doktrin yang kemudian membentuknya menjadi orang lain, tanpa pikiran orisinil. Akibatnya dialog yang terjadi hanyalah mempertahankan argumen atau prinsip yang secara dogmatik telah kita serap dari orang lain.

Pencarian tak kenal lelah akan hikmah ini membuat seorang filsuf sejati menjadi atopos (tak dapat dikelompokkan). Dalam Symposium, Plato menampilkan Socrates menjelaskan pencarian kebijaksanaan sebagai kisah cinta yang menggenggam seluruh diri sang pencari hingga dia mencapai ekstasis yang merupakan pendakian, tahap demi tahap, ke tingkatan ujud yang lebih tinggi.

Ini yang menjadi sebab Socrates berbeda dengan intelektual pada zamannya yang dikenal sebagai para oportunis Sofis. Mirip dengan tabiat rata-rata kita sekarang yang mengembangkan intelektualitas mereka secara terporos dan superfisial.

Kaum Sofis di Athena kuno mengajarkan relativisme sebagai paham dan pandangan etis, bahwa yang baik dan yang jahat, yang benar dan yang salah tergantung pada masing-masing orang dan budaya masyarakatnya (relativisme etis kultural). Ini mirip dengan orang-orang sekarang yang hidup dalam lokus dan budaya tertentu dan merasa paling istimewa dibanding yang lain.

Ada syair tua yang tak kuingat siapa penyairnya, berbunyi: Kebenaran adalah anak daripada waktu, kata Abraham Lincoln. Di titik mana kita telah menemukan kebenaran absolut sepanjang waktu ini, apakah kita otentik, atau hanya pemalsu pikiran orang lain? ~

 

 

 

 

Comments