Teka-teki dari Leiden

 



Ilustrasi: desktopbackground.org

Oleh Muhammad Natsir Tahar

Kenangan tentang Melayu tersimpan dalam peti dan lemari orang lain. Berada di negeri yang jauh. Di kita romantika Melayu hanya serpihan mozaik, sekelumit naskah tersisa, kita tak tahu banyak bagaimana Melayu di abad pertengahan atau lebih jauh dari itu. Kita akhirnya terjebak dalam lingkaran teka-teki kuno (ancient riddle).

Ada ribuan naskah kuno dan kearifan lokal Melayu yang tersimpan di Belanda, utamanya di Universitas Leiden, di beberapa tempat di Inggris, dan dalam penguasaan kolektor pribadi.

Artinya Melayu telah memiliki produk intelektual yang bisa saja menjadi penanda bahwa ini adalah puak yang pernah mengalami fase renaisans, abad pencerahan dari terbangunnya tapak-tapak literasi.

Tapi kita tidak bisa berharap bahwa era renaisans itu benar-benar ada, karena sejarah mencatat bahwa feodalisme yang kuat dan hegemonik, tidak menjadi tempat tumbuh yang baik bagi kuntum-kuntum kreativitas.

Renaisans hanya mekar di negeri-negeri yang terbuka, menyalakan pelita penerang abad kegelapan periode Gothic, tidak dari bilik istana, tapi dari sudut-sudut yang kurang penting.

Ketika Islam masuk ke alam Melayu, filsafat mungkin telah ditinggalkan. Nama-nama filosof dan saintis Islam seperti Ibnu Sina, Al Khawarizmi, Al Kindi, Al Farabi, atau Ibnu Khaldun terlalu sepi bila dibanding dengan ahli-ahli tarekat sufisme seperti Ibn Arabi atau Al Ghazali.

Akibatnya kita (setidaknya saya pribadi) tak pernah mendengar nama-nama pemikir atau saintis Melayu dari masa silam. Tidak semacam patung David-nya Michelangelo, tidak Hamlet dari Shakespeare, tidak pula Serenade punya Mozart.

Filsafat adalah ibu kandung ilmu pengetahuan. Ia yang melahirkan sains dan menegurnya bila sains berpuas diri. Menyusul munculnya kaum Aristotelian dan Neo-Platonik di Jazirah Arabia, wilayah ini menjadi ibukota sains dunia.

Lagi pula, filsafat memiliki sensor yang ketat terhadap fenomena, ini tidak baik untuk istana feodal, bisa saja filsafat akan meruntuhkan monarki dan mempertanyakan apa esensi untuk taat kepada sabda raja-raja.

Padahal eksistensi Melayu telah lama dijejak oleh dunia kuno, setidaknya seperti yang pernah dicatat oleh Ptolemy yang lahir pada tahun 100 M dalam Geographia. Kemudian Nicolaus Germanus pada tahun 1467 membuat ulang sebuah Chersonese Emas, yaitu Semenanjung Malaya di dunia modern. Beberapa ahli berpendapat tentang kemungkinan Ptolemy telah menyalin ulang dari peta dunia yang lebih purba.

Penerus puak Melayu akhirnya merawat kenangan mereka yang dipancarkan dari menara gading, oleh penulis-penulis istana. Kita bisa membaca dengan mata telanjang untuk kepentingan siapa sastra arkais itu ditulis, adakah rintihan jelata di dalamnya?

Sedikit kamuflase tentang wajah jelata di masa lalu menghasilkan romansa yang terlihat baik-baik saja, sampai kita mampu memverifikasinya dengan membongkar perpustakaan Leiden.

Melayu mengalami kebangkrutan literasi, isi pikiran pendahulu kita telah menyeberang ke negeri jauh dan menetap abadi di sana. Melayu kemudian menyusun mozaik sejarahnya dari kepingan yang tersisa dengan terlalu banyak ruang kosong yang akhirnya harus diisi dengan mitos, aksioma, dan imaji.

Kebanggaan itu melekat secara absurd pada persalinan kebangsawanan, nisan-nisan tua, perangkat adat, dan bait-bait terbatas yang diulang-ulang.

Tentang geneologi silsilah raja-raja Melayu, diterima begitu saja sebagai enigma, padahal ini menjadi sangat penting untuk menetapkan legitimasi para pemegang daulat, apa sebab mereka menjadi raja monarki dan disembah berabad-abad oleh jelata Melayu?

Tidak ada jawaban tegas dalam tinggalan naskah Malay Annals satu-satunya yang ditulis Tun Sri Lanang. Seseorang dapat saja menuduhnya sebagai logical fallacy , sampai itu benar-benar terverifikasi.

Ada baiknya naskah-naskah kuno tersimpan rapi di Leiden, mereka memiliki teknologi tinggi untuk melawan pelapukan, serta menyalinnya ke dalam microfilm, kita tidak bisa menjamin itu jika tetap ada di negeri ini.

Tugas kita adalah mengirim lebih banyak peneliti ke sana untuk mempelajari dan menghimpunnya ke dalam kaidah kekinian, menjadi ensiklopedia terbesar yang memuat jutaan referensi tentang sejarah pikiran. 

Bila perlu dapat membantah tuduhan saya di atas, bahwa tidak pernah ada renaisans di tanah Melayu, barangkali mereka pernah ada, terselip satu catatan misalnya ada pemikir sekelas Isaac Newton berkulit coklat. Siapa tahu. ~

 

Comments