Multifenomena

 

Ilustrasi: cloudfront.net

 

Oleh Muhammad Natsir Tahar

Banyak cara untuk berputar, dari sekadar berkutat pada fenomena yang tampak di depan. Realita bukanlah fakta tunggal, sejarah bukan pula tafsir parsial. Definisi-definisi tidak pernah final, dan kemegahan dunia justru dibangun oleh para kapitalis penghayal.

Keburukan tak pernah datang sendirian, ia kadang hanya kain pembungkus bagi kebaikan yang tak ingin telanjang. Seekor nyamuk selamanya terlihat sebagai vampir kecil penghisap darah, sampai kita menyaksikan raksasa-raksasa industri pengusir nyamuk di belakangnya.

Raksasa-raksasa yang terlihat angkuh sampai kita menghitung ratusan ribu bahkan jutaan orang telah hidup darinya. Jutaan orang hidup dari vampir penghisap darah, mulai dari bahan baku, unit produksi, jalur distribusi, pasar, bahkan pajak.

Sejarah kolonialisme selamanya tampak buram dan getir, sampai kita melihat ada semangat juang dan nasionalisme yang tumbuh darinya. Lalu dari mereka, kita menyerap modernisme, bahasa, ilmu pengetahuan, isme-isme hingga kitab undang-undang hukum yang kita salin hampir seluruhnya.

Spirit Indonesia tercipta karena secara teritorial kita dijajah oleh bangsa yang sama, jika seluruh Eropa mengeroyok Nusantara, maka kita akan terpecah sebanyak jumlah mereka pula. Tidak jauh beda ketika kita pernah terpecah dalam jajahan kerajaan-kerajaan kecil.

Xenofobia melompati feodalisme. Warna rambut, kulit dan mata, bahasa dan agama,  menjadi alasan yang tersembunyi di alam bawah sadar kita untuk mengusir penjajah asing.

Padahal di abad-abad sebelumnya ada sedikit rasa nyaman dan tunduk tanpa syarat di bawah iman feodalisme, ketika berhadapan dengan bala tentara kerajaan yang berkulit sesama coklat. Yang tindak tanduk mereka tidak jauh berbeda: memungut upeti, menghukum terlalu keras, merampas tanah rakyat, dan minta disembah seperti Tuhan.

Di zaman Belanda, isu-isu tentang kapitalisme terlihat sangat minor. Bahkan dianggap sebagai adik kandung bagi kolonial-imperialisme. Lawan tanding yang tepat bagi kapitalisme adalah sosialisme-marxisme bahkan komunisme yang relevan dengan semangat perjuangan. Bagian terakhir ini bahkan menjadi catatan hitam karena sejarah pemberontakan dan revolusi berdarah di banyak belahan dunia.

Tapi pada akhirnya sebagian besar negara maju mengadopsi keduanya untuk mengatur negara, termasuk Indonesia, dengan Sistem Ekonomi Campuran (Mixed Economic System). Kapitalisme-Liberalisme dengan simbol leize faire-nya yang berwajah tamak harus dibayang-bayangi oleh utopia proletariat dari sistem sosialis-komunisme, yang mendambakan kesetaraan di bawah pengaturan negara. Berdirinya perusahaan-perusahaan milik negara atau sejenisnya, juga diturunkan dari paham ini.

Komunisme yang kita sangka seluruhnya buruk, itu pula lah yang mampu mengoreksi kejahatan-kejahatan kapitalisme, sehingga bisa berwajah humanis dan semakin people centric. Tidak heran bila kemudian para pemikir-pemikir abad 20 seperti Tan Malaka, Sukarno, Hatta, dan Syahrir berpaham kiri, karena spirit sosialisme sangat relevan untuk berhadapan dengan penjajah kapitalis.

Kapitalisme yang kita sangka selamanya haloba dan menindas, itu pulalah yang mampu menyerap jutaan bahkan miliaran tenaga kerja. Bila seseorang bukan pegawai negara, pekerja sosial, dan bekerja serabutan, maka sudah dipastikan mereka berada di bawah payung besar kapitalisme atau kapitalis itu sendiri.

Wajah kapitalisme terus membaik ketika hak-hak buruh makin dikedepankan, serta sistem manajemen yang berbasis kepada pembangunan manusia. Seluruh kebutuhan manusia, hewan, dan tumbuhan serta kemegahan dunia telah dibangun di bawah imajinasi dan dominasi sistem kapitalisme.

Di sisi lain, kapitalisme yang eksploitatif dan ekstraktif, yang menyumbang kerusakan ekosistem dan pemanasan global, suatu masa pernah menjadi anak emas di awal-awal rezim Soeharto atau di banyak negara berkembang, karena mampu mengalirkan darah segar bagi ekonomi negara yang sedang sekarat.

Sebagaimana komunisme yang sudah ketinggalan zaman dan hanya menjadi alat bagi sistem diktatorial serta merampas kekayaan dan kebebasan pribadi seperti Korea Utara, kapitalisme semacam ini telah menjadi musuh bersama bagi misi penyelamatan bumi, yang sedang berada di ambang perubahan iklim yang ekstrem.

Segala bentuk ancaman keamanan, kejahatan segala perbuatan melanggar hukum telah melahirkan profesi-profesi pada bidangnya. Bahkan seorang hakim bisa disebut yang mulia dan agung berkat bajingan-bajingan tengik yang lahir dari kantong kemiskinan dan kurang terurusnya pendidikan.

Inflasi yang tampak sadis di mata emak-emak karena kenaikan harga tanpa henti, pada batas normal menyimpan sisi positif agar roda ekonomi berputar secara real time, karena suatu tren deflasi mendorong orang-orang menunda pembelian sampai mereka menemukan harga termurah.

Pandemi Covid-19 yang dikutuk satu dunia, selama dua tahun ini telah mampu membuat langit membiru karena berkurangnya emisi gas buang dari sistem transportasi dan cerobong asap industri, serta menjadi pemacu utama bagi masifnya sistem digital yang sempat melambat dan tertolak.

Dari uraian yang sedikit ini, kita harus tetap berada pada tingkat kesadaran penuh bahwa di belakang fenomena ada multifenomena. Kita bisa menghina seekor lalat sebagai pembawa bibit penyakit dari tempat yang busuk, tapi sepanjang mata kita hanya mampu menumbuk dan diam di hadapan satu fenomena belaka, kita perlu belajar banyak dari seekor lalat. Bahkan kita tidak lebih baik dari mereka, jika karena kemalasan kita untuk mengubah arah tatapan, menjadi sumber kebekuan dan kekacauan.

Mata pada lalat rumah terdiri dari 6.000 ommatidium yang dihadapkan ke arah yang berbeda-beda baik ke depan, ke belakang, bawah, atas, dan ke setiap sisi, sehingga lalat dapat menangkap informasi dari semua arah. Sekali lagi, dari semua arah. ~

 

Comments