Pseudosains

 


Imaged by pixel2013 | pixabay.com

 

Oleh Muhammad Natsir Tahar

Sudah terlalu lama pertanyaan-pertanyaan itu tergeletak begitu saja. Apakah kita punya kehendak bebas (free will) atau terdertiminasi secara absolut? Apa batasan yang tegas antara sains dan pseudosains? Antara fisika dan metafisika? Apakah Anda sudah memverifikasi dengan mata telanjang, bumi ini berbentuk elips atau datar? Masih banyak yang lain sebenarnya.

Kosmolog dan pemikir progresif-alternatif, Prof. Yusmar Yusuf punya quote menarik: kebetulan adalah ketika Tuhan tak mau diketahui sebagai pelakunya. Ia memberi sinyal bahwa manusia terperangkap dalam dominasi absolut, dan Tuhan adalah pelaku tunggal. Teori-teori kehendak bebas hampir dihabisi dari banyak jalan, mulai teologis, saintis, hingga futurologis.

Kita dikendalikan oleh algoritma biologis, sistem bawah sadar, eksperimen tipikal yang mendukung kehendak bebas ilusif serta temuan-temuan logis para futurolog bahwa tubuh kita diseret sepenuhnya dalam dunia simulasi yang dikendalikan oleh entitas superior.

Pertanyaan-pertanyaan dan pembelaan terhadap masalah logis kejahatan dalam bentuk yang lebih kompleks telah dielaborasi oleh Alvin Plantinga, seorang filsuf analitik yang kemudian menulis bukunya Tuhan, Kebebasan, dan Kejahatan (1977).

Jika kehendak bebas itu nyata, dalil Jean-Paul Sartre bahwa manusia dikutuk untuk bebas (man is condemned to be free) dapat diterima. Kita telah dikutuk untuk bebas agar kita bisa dihukum, tanpa melibatkan Tuhan di dalamnya, atau bahkan Tuhan ikut serta.

Tuhan menyediakan surga dan neraka untuk segala sesuatu yang telah Dia takdirkan. Sebagai Sang Maha Tahu (omniscient) menjadi mustahil bahwa Tuhan tidak tahu siapa yang akan menjadi penghuni surga dan neraka-Nya kelak.

Untuk tidak mendebat Tuhan, Prof. Yusmar sudah mengingatkan agar kita harus berada dalam opsi dungu. Ini sebagai bentuk kehati-hatian cara Socrates, dalam menghadapi kaum Sophis yang merasa final.

Mengenai sains dan pseudosains. Para ilmuan garis keras menegaskan bahwa ilmu harus berada dalam sensor ketat metode ilmiah yang melibatkan pengamatan dan pengukuran, prosedur eksperimen, pengujian, dan modifikasi hipotesis. Tanpa ini ilmu hanyalah kabar palsu dan semu (pseudosains) atau pseudoscientific.

Perspektif ini menuntut kedewasaan ilmiah bahwa sains harus dimurnikan dari purbasangka yang tidak tervalidasi, irasional, dan dogmatis. Penolak pseudosains (biasanya ateis) bahkan telah memisah-misahkan antara astronomi dengan astrologi dan ufologi, kimia dan alkemi (alchemy), ilmu kedokteran dan pengobatan alternatif, antara fisika dan metafisika, hingga teori evolusi dengan kreasionisme dan teori konspirasi bumi datar.

Namun dalam fakta keseharian kita, hampir tidak dipisahkan antara ilmu (science) atau hanya sebatas pengetahuan (knowledge). Banyak yang disebut berilmu ketika dia memiliki pengetahuan dari penghapalan kata, angka, dan fakta masa lalu, yang tidak diverifikasi secara ilmiah.

Terakhir tentang apakah bumi ini datar atau elips (bulat lonjong)? Penganut agama Abrahamik harus mundur di belakang penggagas heliosentris, Nicolaus Copernicus yang menyatakan bumi ini bulat dan berputar. Karena ritus atau tata cara peribadatan kita berada dalam perspektif bumi datar. Dari cara berdoa menengadahkan ke langit, hingga shalat menghadap kiblat.

Dalam teori bumi bulat, garis lurus yang kita tarik dari ujung sajadah ke arah kiblat di Mekah, akan terdeviasi atau tersimpangkan ke ruang antariksa, karena adanya lengkungan (curvature) bumi. Kita juga menatap dan menadahkan tangan ke langit, ketika langit b mengikuti rotasi bumi dengan kecepatan 1.770 kilometer per jam.

Dalam masalah agama kita harus berada dalam episode kedunguan, dalam kepasrahan absolut. Bicara tentang bumi tempat kita menyembah Tuhan, lupakan dulu kalau kita pernah membaca kefasihan narasi astronomi Carl Sagan, kelincahan teorema Stephen Hawking atau Einstein, hingga keberanian futursitik Michio Kaku.

Ini adalah paradoks keimanan yang menganjurkan kita untuk menggunakan akal dan kedunguan secara sekaligus. Akal digunakan untuk menegaskan silogisme, dan kedunguan berguna untuk mengabaikan empirisme yang mengancam eksistensi Tuhan dalam keimanan yang rapuh.

Kata Immanuel Kant pula, jumlah total dari semua pengetahuan yang mungkin tentang Tuhan tidak mungkin bagi manusia. ~

 

Comments