Pendaku Pancasila



Oleh Muhammad Natsir Tahar

Kita tidak mungkin hidup berlama – lama dalam kepompong budaya masing – masing dan hampir tidak ada negara yang berdiri dalam satu kelompok etno-kultural belaka. Untuk itu Pancasila hadir sebagai titik temu futuristik yang lahir dari rahim pertiwi. Sayangnya Pancasila telah lama tidak disertakan dalam dialektika kebangsaan, sebatas kemudian menjadi hafalan wajib para milenial.

Pancasila pernah menggema sebagai mantra penataran. Dibahas superfisial di ruang bina ideologi dan mental. Sampai di situ lalu selesai. Pancasila tak terbudayakan dalam moral publik. Sekarang seolah semua berebut sebagai paling Pancasila di tengah kerumunan: 24 dari 100 orang tak hafal sila – sila Pancasila (survei BPS 2015). Jikapun hafal, akan dibawa kemana hafalan itu?

Pancasila menjadi mantra agung para rezim. Pancasila nan sakti sebatas benteng pertahanan. Dan karena berebut Pancasila pula kekuasaan diruntuhkan. Pancasila lahir 1 Juni saat Sukarno berpidato di hadapan Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai.

Lalu sejarah menjadi absurd ketika Pancasila disebut – sebut runtuh di bawah kekuasaan penciptanya sendiri. Hari Kesaktian Pancasila kemudian menjadi glorifikasi terhadap rezim Orde Baru atas jasa-jasanya sebagai ‘penyelamat’ Pancasila.

Lalu ketika rezim Orde Baru tumbang, penataran Pedoman, Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dihentikan dan Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7) dihapus.

Karena Pancasila di tangan rezim Suharto dianggap sebagai alat indoktrinasi mono loyalitas. Dalam hal ini pejuang – pejuang reformasi yang fobia dan trauma seakan membuta. Pancasila terlalaikan dan jauh dari diskursus. Rezim reformasi adalah rezim yang paling rapuh dalam merawat Pancasila.

****

Pancasila dipahami serupa dogma dan seremonia. Pancasila diperkenalkan di atas permukaan. Lalu timbul kebingungan, siapa yang paling Pancasila dan siapa yang paling tidak. Pancasila nan agung ditarik sembarangan ke ruang publik untuk membuat justifikasi. Jangan bicara Pancasila kepada kerumunan penghafal, selami dulu sampai di mana kita sudah Pancasila mulai mitos, logos dan etos.

Mestinya Pancasila lebih dari cukup untuk menjawab pluralitas kebangsaan Indonesia. Jika Pancasila telah disampaikan kepada publik dalam metodologi yang tepat, maka keragaman tidak selalu berakhir dengan tikai. Sejauh ini masyarakat hanya dibiarkan menjadi penghafal Pancasila atau menerjemahkannya sendiri – sendiri. Sifat menghafal adalah kekonyolan. Seperti disebut Tan Malaka dalam Madilog: Bahwa kebiasaan menghafal itu tidak menambah kecerdasan, malah menjadikan dirinya bodoh, mekanis, seperti mesin.

Fakta Pancasila adalah galian dari jati diri bangsa dalam keragaman yang besar. Sukarno menyebut, jika lima sila dalam Pancasila diperas maka tinggal satu frasa yakni gotong royong. Gotong royong berwatak kekeluargaan ini adalah jati diri sebenar Indonesia untuk membuat pembedaan tegas atas konsepsi perseorangan dalam liberalisme-kapitalisme dan konsepsi kelas atau golongan dalam komunisme.

Sudahkah penyelenggara negara menerapkan kelima prinsip dasar Pancasila itu? Di tengah gemulainya pertahanan kita pada kapitalisme predatoris, tabiat otokrasi-koruptif dan keberpihakan kepada pasar-individualis yang kesemuanya mengoyak peri kemanusiaan yang adil dan beradab serta peri keadilan sosial.

Sudahkah politik anggaran dilaksanakan dengan adil untuk rakyat, di tengah sangat dipentingkannya urusan ritual, fasilitas dan kemewahan penyelenggara negara ketimbang mengoptimalkan biaya publik.

Dalam hikmat kebijaksanaan sudahkah suara – suara rakyat dihormati dan tidak dicederai. Lalu kemudian sudahkah penyelenggara negara berlaku adil atas dua rongrongan Pancasila? Jika cenderung melihat bahaya besar hanya datang dari chauvanis atau radikalisme keagamaan tetapi membuta pada radikalisme sekularis. Radikalisme sekularis terlihat pelan tapi sama bahayanya.

Pancasila bukan sebatas common sense sebagai Dasar Negara, tapi adalah solusi untuk menegah ancaman globalisasi yang telah membelah umat manusia menjadi dua golongan, yang menang dan yang tertindas. Jika faktanya rakyat masih hidup dalam hegemoni, baik secara dalam negara maupun internasional, mari berhitung sejauh mana Pancasila sudah dihadirkan oleh rezim ini?

Negara mestinya menutup ruang atas rongrongan dari penghafal – penghafal radikal baik dari golongan agamis maupun sekuler yang ingin mengganti ideologi Pancasila dengan memperbaiki cara memberlakukan Pancasila dari dalam, dari diri – Negara -  sendiri.

Sehingga tidak memberi alasan apapun untuk mendebatkan Pancasila sebagai ideologi bangsa dan dasar negara. Aneka bentuk kekerasan sosial berbasis fundamentalisme keagamaan, tribalisme, premanisme dan sentimen kelas sosial adalah pantulan dari hilangnya bahkan tidak dikenalnya Pancasila dalam tataran implementasi.

Maka untuk mencegah semakin membiaknya manusia – manusia mekanis penghafal Pancasila yang menari di atas permukaan, maka negara harus menciptakan mekanisme sistematis dan testruktur agar Pancasila mampu menjadi solusi bagi bangsa ini. Dimulai dari satu pertanyaan: sudahkah penyelenggara negara menerapkan Pancasila dengan benar atau ternyata hanya bagian dari kerumunan penghafal hedonis atau pendaku tiba-tiba? ~MNT




Comments